7 (fahri jahil)

2.9K 167 70
                                    

Deva kembali masuk sekolah setelah pulih dari sakit. Kali ini, Fahri mengantarnya langsung. Hal ini berbeda dari biasanya. Kehadiran Fahri di koridor sekolah sontak menarik perhatian. Semua siswa yang biasa melontarkan hinaan atau mempermalukan Deva hanya bisa diam terpaku. Mereka tahu siapa yang berdiri di sebelah Deva ada ayahnya, Mahendra Sabil Al Fahri, arsitek ternama yang sangat berpengaruh di dunia bisnis.

“Kalian macam-macam dengan putraku, siap saja kuhajar!” ancam Fahri dengan nada datar namun tegas.

Deva tidak berkata apa-apa, membiarkan ayahnya mengancam setiap siswa yang ada di koridor. Fahri berjalan mendampingi Deva hingga ke pintu kelas. Saat pintu dibuka, sebuah plastik hitam meluncur cepat ke arah Deva. Dengan sigap, Fahri menghentikannya dan melemparkan plastik itu kembali ke arah si pelaku. Tatapan tajamnya membuat suasana kelas mendadak hening.

“Kau tahu, ada satu hal yang paling kubenci di dunia ini,” ujar Fahri dengan suara dingin. “Yaitu mereka yang berani menyakiti putraku. Kudengar ada laporan kalian membully Deva. Kalau itu benar, bersiaplah. Aku tidak akan tinggal diam.”

Fahri berjongkok sejenak, mengelus rambut Deva lembut, lalu menyelipkan beberapa lembar uang merah ke saku jaketnya. Seperti biasa, Deva hanya diam, tidak merespons apa pun.

“Pulang sekolah ada tawuran?” tanya Fahri santai.

“Kurasa tidak,” jawab Deva singkat.

“Seperti biasa, langsung ke kantor papa saja, ya?” lanjut Fahri.

“Iya,” jawab Deva tanpa banyak kata.

Setelah merapikan rambut Deva sekali lagi, Fahri pun meninggalkan kelas. Deva berjalan menuju bangkunya, melintasi tatapan hinaan, jijik, dan ejekan dari teman-teman sekelasnya. Ia tidak peduli, bahkan ketika salah satu siswa menahan kakinya hingga ia tersungkur ke lantai. Kepalanya sampai mencium lantai keras.

“Hahahaha!”

“Tukang ngadu lu!” ejek seorang siswa.

“Gua aja nggak yakin dia anak Pak Mahendra. Anak pungut kali!” tambah yang lain.

“Benar tuh! Lihat aja mukanya, beda jauh sama Pak Mahendra!”

“Udah pembunuh, anak pungut pula!” seru salah satu siswa dengan nada mengejek.

“Kasihan, Deva anak pungut!”

Deva bangkit perlahan, mencoba tidak memedulikan ejekan itu. Ia memasang headset di telinganya, berharap bisa menghalau semua suara hinaan. Namun, aksi itu justru membuat beberapa siswa semakin kesal.

“Ck, anak pungut kok gayanya pakai headset!”

“Lu sadar diri, dong!”

Salah satu siswa, anak dari donatur besar sekolah, tiba-tiba menarik rambut Deva dengan kasar. Tidak cukup sampai di situ, ia meludah tepat di wajah Deva. Sebelum Deva bereaksi, Atha, salah satu teman sekelasnya, maju ke depan dan mendorong siswa itu.

“Perbuatanmu semakin lama semakin keterlaluan!” seru Atha dengan marah.

Atha berdiri di depan Deva, melindunginya. Namun, Deva hanya menarik tangan Atha pelan, meminta sahabatnya itu untuk kembali duduk.

“Bang Deva, mereka keterlaluan!” protes Atha.

“Tidak apa-apa,” jawab Deva tenang, meskipun suaranya terdengar lelah.

Deva meninggalkan kelas untuk mencuci wajahnya di toilet. Dengan sabun pencuci wajah yang selalu ia bawa, Deva membersihkan wajahnya dengan hati-hati, menghapus rasa jijik yang membekas.

“Menyebalkan. Baru saja cuci muka tadi pagi, malah kena najis,” gumam Deva, kesal.

Selesai mencuci muka, ia kembali ke lokernya untuk menyimpan sabun. Saat berjalan melewati koridor kelas yang sudah kosong karena bel masuk, Deva tiba-tiba mendengar suara aneh dari salah satu ruangan kosong. Suara desahan samar terdengar dari dalam.

(Revisi) Deva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang