6 (deva sakit)

3.4K 172 4
                                    

Sudah tiga hari demam Deva belum menunjukkan penurunan sama sekali. Fahri akhirnya memutuskan untuk membawa Deva ke rumah sakit. Suhu tubuh Deva yang naik turun membuat Fahri semakin khawatir. Karena kondisi Deva tidak memungkinkan untuk bepergian jauh, Fahri membatalkan rencana kunjungan Deva ke Amerika. Semalam, Deva mengeluh kedinginan meski sudah diselimuti beberapa lapis kain tebal.

Fahri mengambil hoodie kebesaran milik Deva dan membuka sedikit selimut yang menutupi tubuhnya. Namun, Deva dengan refleks menarik kembali selimut itu. Fahri tersenyum tipis, lalu memakaikan hoodie tersebut pada tubuh Deva dan mengelus rambut lepek anaknya. Ia sempat mencium kening Deva, masih merasakan hawa panas di sana.

"Papa, dingin," lirih Deva.

"Kita ke rumah sakit, ya. Dev harus dirawat dulu. Kondisi tubuhmu semakin melemah, nak," ucap Fahri lembut.

"Tidak mau," jawab Deva lemah.

Fahri mengabaikan penolakan itu. Ia menggendong tubuh Deva di depan dadanya, lalu menaruh jaket miliknya di atas pundak anaknya untuk menambah kehangatan. Ia segera menggunakan tangga darurat agar lebih cepat.

Sesampainya di mobil, Fahri memerintahkan sopir untuk segera mengantar mereka ke rumah sakit. Fahri biasanya hanya menggunakan sopir untuk perjalanan kerja, sedangkan untuk keperluan pribadi, ia lebih sering mengemudikan mobil atau motor sendiri. Di dalam mobil, Fahri mendekap tubuh Deva erat-erat untuk menghangatkannya.

"Papa, dingin sekali," lirih Deva lagi.

Fahri langsung tersulut emosi saat mendapati AC mobil masih menyala. "KAU BODOH! PUTRAKU SAKIT, KAU MALAH MENYALAKAN AC MOBIL!" bentak Fahri keras.

"Maaf, Tuan Besar," jawab sopir takut.

"Jalankan mobil ini dengan cepat! Jangan membuatku semakin kesal!" ucap Fahri tegas.

"Baik, Tuan," jawab sopir sambil berusaha tetap tenang.

Sopir itu terkejut mendengar nada bentakan Fahri, karena biasanya Fahri adalah orang yang ramah. Tapi, ketika menyangkut Deva, emosi Fahri memang sangat mudah tersulut. Bahkan, ia pernah protes keras ketika mengetahui Deva tidak naik kelas, meskipun Deva sendiri tidak tahu tentang kejadian itu. Fahri memang memiliki sisi overprotektif, tetapi ia berusaha tidak menunjukkannya secara langsung karena tahu Deva tidak menyukainya.

Sesampainya di rumah sakit, Fahri langsung menendang pintu mobil hingga rusak, membuat sopirnya bergidik ngeri. Tidak berhenti di situ, Fahri juga menendang pintu ruangan dokter, meskipun dokter tersebut sedang bersiap untuk makan siang.

Fahri meletakkan tubuh Deva di brankar rumah sakit, lalu menarik kerah dokter sambil memaksanya untuk segera memeriksa kondisi Deva. Dokter Bisma, yang sudah cukup mengenal Fahri, hanya bisa menghela napas sambil menunda makan siangnya.

"Anak lu tipes, maag dia kambuh, dan dia terlihat memikirkan banyak hal belakangan ini. Lebih baik Zyandru dirawat saja supaya segera pulih," ucap Bisma.

"Siapkan ruangan terbaik untuk merawat anakku. Masalah biaya tidak perlu kau pikirkan. Berapa pun, aku tidak peduli," jawab Fahri tegas.

"Sebentar. Gue mau makan dulu. Dari tadi nggak jadi makan mulu. Baru mau nyuap nasi, pasien datang," keluh Bisma.

"Nanti gue kasih bayaran dua kali lipat. Buruan cari ruangan kosong yang gue minta tadi," balas Fahri.

"Baiklah. Kebetulan anak gue mau masuk TK dan SMP. Lumayan, tambahan biaya," ujar Bisma sambil tersenyum kecil.

"Curhat, lu?" sindir Fahri.

"Udah, tunggu aja di sini," jawab Bisma.

Bisma keluar untuk mencari ruangan yang sesuai. Sementara itu, Fahri mengelap ingus yang keluar dari hidung Deva dan menaikkan selimut anaknya hingga dada.

(Revisi) Deva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang