Beberapa minggu kemudian, Deva tengah kebingungan menghadapi ujian tengah semester. Selama ini, ia terlalu fokus merawat sang ayah hingga melupakan bahwa ujian sudah semakin dekat. Beberapa materi masih terasa sulit baginya, tapi ia tak bisa berbuat banyak.
Di ruang kelas, Deva mengerjakan soal ujian Matematika dengan asal untuk jawaban yang tidak ia pahami. Setelah selesai, ia bangkit dari kursinya, berniat keluar kelas. Namun, langkahnya terhenti saat seseorang menahan pergelangan tangannya.
"Aku menunggumu di parkiran, Sisi," ujar Deva singkat.
"Hehehe, makasih, Zyan," tawa Sisi sambil melepaskan genggamannya.
Deva tersenyum tipis sebelum berjalan menuju meja guru untuk menyerahkan lembar jawabannya. Namun, alih-alih langsung ke parkiran, ia malah berdiri di depan kelas, merasa bosan.
Demi mengusir kebosanannya, ia mengambil ponsel dan mencoba menelepon ayahnya. Fahri kini sudah pulih, meskipun masih harus rutin kontrol setiap minggu. Deva terus mencoba menghubungi hingga akhirnya panggilan terhubung.
Fahri: "Lu ngapain deh malah telepon gua pas jam ujian?"
Suara Fahri yang terdengar kesal justru membuat Deva terkekeh geli. Sisi jahilnya memang dominan, tidak heran karena ia menuruni gen dari sang ayah.
Deva: "Gua udah kelar ujian, tahu!"
Fahri: "Lu udah balik ke rumah?"
Deva: "Masih di sekolah, gua."
Fahri: "Nongkrong dulu lu?"
Deva: "Sisi minta anterin ke rumah."
Fahri: "Pantesan, mau nganterin calon bini lu."
Deva: "Kagak gitu maksud gua!"
Fahri: "Gua mah setuju aja lu sama siapapun, asal lu bahagia."
Deva: "Fahri, nyebelin lu!"
Fahri: "Eh, lu anak kurang ajar amat dah!"
Deva: "Gua nikahin Sisi boleh dong?"
Fahri: "Alah, lu masih aja minta duit sama gua, sok-sokan mau kawinin anak orang."
Deva: "Gua kan ada uang 50 miliar tuh!"
Fahri: "Cari duit dulu yang bener, baru nikahin anak orang!"
Deva: "Jangan lupa makan tepat waktu. Gua izin pulang telat, ada balapan."
Fahri: "Lu juga sama, jangan telat makan. Gua juga pulang larut malam, ngejar deadline besok pagi."
Deva: "Papa jangan memaksa diri, ya."
Fahri: "Hati-hati naik mobilnya."
Deva: "Tentu, Papa. Aku sayang Papa."
Fahri: "Sayang kamu juga, Nak."
Sambungan telepon terputus. Deva tersenyum, merasa hangat karena perhatian sang ayah. Namun, tiba-tiba ada tepukan di pundaknya yang membuatnya sedikit terkejut. Saat menoleh, ia mendapati Sisi berdiri di sampingnya, tersenyum manis
"Ayo pulang, Zyan!" ajak Sisi riang.
"Oh, ayo," ucap Deva santai.
"Oi, Dev! Nebeng!" pekik Irsyad tiba-tiba.
"Kak Irsyad ikut nebeng seperti biasa, ya?" tanya Sisi sambil tersenyum.
"Hanya menjalankan amanah dari Om Fahri. Deva dan Sisi diizinkan pulang bareng kalau gua ikut di mobilnya Dev," jawab Irsyad santai.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Revisi) Deva (END)
Teen FictionZyandru Bakrie Radeva, yang akrab dipanggil Deva, dikenal sebagai cowok dingin yang sering dijuluki kulkas berjalan oleh teman-temannya. Di balik sikapnya yang keras, Deva menyimpan trauma berat akibat suatu kejadian di masa lalunya. Meskipun terkes...