Deva memeluk tubuh Fahri erat, seperti biasa menunjukkan sikap manjanya. Sementara itu, Fahri tetap fokus menyelesaikan pekerjaannya di laptop sambil sesekali mengelus rambut Deva yang baru saja dicat menjadi abu-abu.
"Papa kasih nama adik siapa?" tanya Deva tiba-tiba.
"Hm, nggak jauh beda dengan namamu sih, Dev," jawab Fahri sambil mengetik.
"Namanya apa? Dev setiap doa cuma nyebutnya 'adek Dev' doang. Kasih tahu dong," keluh Deva.
"Zahara Bianca Reina," ucap Fahri dengan suara lembut. "Adikmu yang lebih disayang Sang Pencipta."
Deva terdiam sejenak, menatap wajah ayahnya penuh arti. "Mama dan adek pasti nunggu kita di surga," gumamnya.
Fahri mengangguk pelan. "Benar, Nak."
Deva lalu mengganti topik. "Pah, liburan ke Jogja yuk!" ajaknya penuh semangat.
Fahri mengangkat alis, sedikit terkejut. "Tumben minta liburan duluan. Biasanya Papa yang ngajak. Ada apa?" tanyanya curiga. "Jangan-jangan anak Papa jatuh cinta, ya?" godanya sambil tersenyum nakal.
"Belum ada perempuan yang Dev cintai selain Mama. Ini tugas sekolah, pah. Dev disuruh cerita liburan masa sekolah," jelas Deva dengan nada serius.
Fahri tertawa kecil. "Kalau gitu, ke luar negeri aja gimana?" tawarnya.
"Sebagian negara Eropa lagi musim dingin, pah. Dev malas pakai mantel tebal," keluh Deva sambil memeluk dirinya sendiri, membayangkan dinginnya salju.
Namun tiba-tiba, wajah Fahri berubah khawatir. "Astaga, Dev. Wajahmu kok pucat banget?" tanyanya, mendekatkan tangan ke kening Deva.
"Hah? Nggak kok," jawab Deva sambil menyingkirkan tangan Fahri. Dia lalu menyembunyikan wajahnya di perut Fahri, mencari kenyamanan.
"Kalau pusing, bilang ya sama Papa," ujar Fahri lembut.
Deva terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kemarin malam Dev mimpi buruk."
"Ceritakan sama Papa, kalau kamu nggak keberatan," ucap Fahri sambil mengelus punggung Deva.
"Dev mimpi Papa marah. Papa tampar, pukul, dan tendang aku," lirih Deva, suaranya bergetar.
Fahri menarik napas panjang. "Itu cuma bunga tidur, Nak. Papa nggak akan pernah melakukan itu. Apalagi ke kamu," ujarnya meyakinkan.
"Misalnya Dev melakukan kesalahan besar yang Papa benci banget, gimana?" tanya Deva ragu-ragu.
"Papa pasti menghukummu, tapi nggak pakai kekerasan fisik. Itu nggak baik. Kalau perlu, Papa ajarin kamu lebih banyak soal agama atau masukin kamu ke pesantren," jawab Fahri dengan tegas.
"Papa, Dev boleh jujur soal sesuatu?" tanya Deva pelan.
"Memang kamu pernah bohong sama Papa?" balas Fahri, sedikit penasaran.
"Pernah. Tapi Papa janji nggak marah ya," ucap Deva ragu-ragu.
Fahri mengangguk. "Papa janji."
"Dev sebenarnya nggak mau Papa nikah lagi. Dulu Dev dengar cerita teman sekolah, orang tua sambungnya jahat banget. Jadi Dev mikir orang asing itu nyebelin," ungkap Deva.
Fahri tersenyum tipis, mencoba menghapus kekhawatiran anaknya. "Nggak semua orang asing itu jahat, Dev. Kamu cuma perlu belajar lihat karakter orang. Opa dulu pernah bilang ke Papa, berteman boleh dengan siapa saja, tapi percaya cuma ke beberapa orang saja," nasihatnya.
Deva mengangguk pelan. "Dev paling percaya sama Papa. Terus Leo, Hamiz, Sandy, Irsyad, Rian, sama Atha," katanya.
"Bagus. Sekarang bobo siang ya. Papa mau bersihin rumah dulu," ucap Fahri, mencoba bangkit.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Revisi) Deva (END)
Teen FictionZyandru Bakrie Radeva, yang akrab dipanggil Deva, dikenal sebagai cowok dingin yang sering dijuluki kulkas berjalan oleh teman-temannya. Di balik sikapnya yang keras, Deva menyimpan trauma berat akibat suatu kejadian di masa lalunya. Meskipun terkes...