Beberapa minggu terakhir, hubungan antara Deva dan Fahri terasa merenggang. Deva terlihat sedikit menjaga jarak dari ayahnya tanpa alasan yang jelas. Fahri, di sisi lain, merasa bingung dan khawatir atas perubahan sikap putranya.
Di meja makan, suasana begitu hening. Tidak ada obrolan atau candaan seperti biasanya. Fahri hanya menatap Deva yang fokus menyantap sarapannya tanpa berkata sepatah kata pun.
Setelah selesai makan, Fahri bangkit dari kursinya, dan Deva pun ikut berdiri bersiap meninggalkan meja. Namun, Fahri segera menahan pergelangan tangan kanan Deva, menghentikan langkah putranya.
"Aku mau ke sekolah, Pah," ucap Deva dengan nada datar.
"Kamu marah sama Papa?" tanya Fahri, matanya menatap Deva dengan cemas.
"Tidak," jawab Deva singkat, tanpa menatap ayahnya.
"Lantas kenapa menjauhi Papa?" Fahri bertanya lagi, kali ini nadanya lebih lembut, berharap mendapat jawaban.
Deva menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Dev nggak mau terus bergantung sama Papa. Mulai sekarang, aku ingin berdiri sendiri. Biar Papa bisa bebas kemana pun tanpa perlu terus mengkhawatirkan aku."
Fahri terdiam sejenak, mencerna ucapan Deva yang terasa berat di hatinya. Akhirnya, dia mengangguk pelan. "Baiklah," ucap Fahri dengan nada pasrah.
Deva mendekat dan mencium tangan kanan Fahri sebelum berpamitan. Tanpa banyak bicara lagi, ia berjalan menuju garasi untuk mengambil motor kesayangannya.
Fahri masih berdiri di tempat, menatap punggung Deva yang semakin menjauh. Ia bergumam pelan, "Dev, kenapa sih?" Nada suaranya penuh kebingungan dan rasa kehilangan.
Deva, yang masih berada dalam jangkauan suara, mendengar gumaman Fahri. Ia hanya tersenyum tipis tanpa menoleh, lalu melanjutkan langkahnya menuju motor dan pergi menuju sekolah.
Radeva International High School, tempat Deva menempuh pendidikan saat ini, membutuhkan waktu cukup lama untuk dicapai. Namun, alih-alih langsung ke sekolah, Deva terlebih dahulu berhenti di depan sebuah rumah sederhana di tengah perjalanan.
Tak lama, seorang gadis muda keluar dari rumah itu. Gadis tersebut bernama Karina, yang selama seminggu terakhir menjadi lebih dekat dengan Deva. Karina tersenyum melihat Deva menunggunya di atas motor.
"Kau baik sekali, Dev," ucap Karina dengan nada lembut.
"Hm," jawab Deva singkat, tetap dengan ekspresi dinginnya.
Deva menyerahkan helm kepada Karina, dan Karina menerimanya dengan antusias. Dari jendela rumah, Karerina, ibu Karina, memperhatikan adegan itu sambil menyeringai penuh kepuasan.
"Menghancurkan Mahendra Sabil Al Fahri ternyata lebih mudah dari yang kupikirkan," gumam Karerina dengan senyuman penuh niat jahat.
Deva dan Karina kemudian pergi bersama, meninggalkan rumah itu. Setelah menurunkan Karina di kampusnya, Deva langsung melanjutkan perjalanan ke sekolah. Karena terlambat, ia mencari jalan masuk dari pintu belakang sekolah.
Di lingkungan barunya, Deva memang jarang berbaur. Sifat dinginnya membuat banyak orang enggan mendekat, kecuali seorang teman yang cukup gigih.
"ZYAANNN!" teriak Sisi, satu-satunya teman yang mau dekat dengannya.
Deva menoleh dengan malas. "Kenapa?" tanyanya singkat.
"Kata Kak Irsyad, kamu itu sering bareng sama Om Fahri. Tapi kok belakangan ini nggak pernah kelihatan bareng lagi sih?" tanya Sisi dengan nada ingin tahu.
"Papa sibuk," jawab Deva tanpa ekspresi.
Sisi menatap Deva sambil memiringkan kepala, seolah menyelidiki. "Kamu ini kelainan, ya, Dev?" tanyanya tiba-tiba.
Deva mengernyit. "Kelainan?" balasnya bingung.
"Begini, lho. Kamu sering banget ditaksir sama cewek-cewek di sekolah ini, tapi semuanya kamu tolak. Nah, aku jadi mikir, sebenarnya kamu ini... gay, ya?" ujar Sisi sembarangan.
"Aku normal!" balas Deva kesal, suaranya sedikit meninggi.
"Ya maaf, aku nggak sengaja nyinggung perasaanmu," ucap Sisi, merasa bersalah.
Namun, Deva sudah kehilangan mood. Dia meninggalkan Sisi tanpa sepatah kata lagi. Rumor yang mulai merebak di sekolah benar-benar mengganggunya. Banyak siswa membicarakan bahwa Deva sebenarnya tidak menyukai perempuan dan bahkan dituding berpacaran dengan Fahri. Deva menjauh dari Fahri karena tidak ingin memanaskan rumor itu dan tak mau disebut sebagai seorang gay.
Di kelas, Deva mencoba fokus mendengarkan penjelasan guru. Ketika jam istirahat tiba, dia memilih pergi ke ruang melukis tempat favoritnya untuk menenangkan diri. Dengan bekal makan siang yang sudah ia siapkan sendiri, Deva memutuskan untuk menghabiskan waktu sendirian, jauh dari keramaian.
Deva menggoreskan setiap cat warna di atas kanvas, tenggelam dalam kegiatan melukisnya. Namun, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya, dan saat Deva menoleh, ternyata itu adalah Irsyad.
"Gua dapet kabar dari bokap, katanya Om Fahri masuk rumah sakit," ucap Irsyad dengan nada serius.
Ucapan Irsyad barusan langsung menghentikan kegiatan Deva. Deva berdiri dan tanpa pikir panjang, langsung menarik kerah baju Irsyad, bahkan tubuh Irsyad sedikit terangkat akibat tindakan Deva yang tiba-tiba.
"LU JANGAN BERCANDA!" teriak Deva dengan marah.
"Gua serius, Dev!" balas Irsyad dengan nada terbata-bata, berusaha menenangkan Deva.
Irsyad berusaha keras melepaskan cengkraman Deva yang masih erat di kerah bajunya, namun tidak berhasil. Raut ketakutan yang terlihat jelas di wajah Deva membuat Irsyad semakin cemas.
"PAPA TIDAK KECELAKAAN! LU PASTI BOHONGI GUA KAN, IRSYAD!" teriak Deva, suaranya penuh emosi.
"Om Fahri menabrak pembatas jalan di tol Cipali," jawab Irsyad, terbata-bata.
"Itu, kan?!" Deva terkejut mendengar jawaban Irsyad.
"Gua temenin lu kesana," ucap Irsyad dengan nada penuh perhatian.
"Lu sekolah aja. Gua sendiri kesana," timpal Deva, tidak ingin ada yang menghalangi niatnya untuk segera mengetahui keadaan Fahri.
Deva melepaskan kerah baju Irsyad dan langsung bergegas menuju motornya. Irsyad masih mengikutinya dari belakang, khawatir jika Deva akan terlibat kecelakaan juga karena keadaan emosionalnya yang kalut.
Di tengah perjalanan, Deva mengabaikan segala hal di sekitarnya, fokus hanya pada satu tujuan mengetahui keadaan Fahri. Namun, sesekali Deva berhenti sejenak di pinggir jalan untuk menenangkan perasaannya yang semakin cemas.
Air mata Deva jatuh, namun ia tidak menghapusnya. Helm fullface yang dikenakannya pun tetap terpasang, menutupi wajahnya yang terlihat kacau. Ketakutan yang begitu dalam menghantui dirinya, dia tidak ingin kehilangan orang yang sangat berarti baginya.
Sampai jumpa
Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan bagi penulis ya agar semakin bersemangat menulis
Rabu 22 Februari 2023
Maaf sedikit terlambat updatenya karena pekerjaanku setiap akhir pekan lumayan banyak jadi gak sempat menulis
KAMU SEDANG MEMBACA
(Revisi) Deva (END)
Teen FictionZyandru Bakrie Radeva, yang akrab dipanggil Deva, dikenal sebagai cowok dingin yang sering dijuluki kulkas berjalan oleh teman-temannya. Di balik sikapnya yang keras, Deva menyimpan trauma berat akibat suatu kejadian di masa lalunya. Meskipun terkes...