8 (tawuran)

2.8K 171 62
                                    

Deva bersama sahabat-sahabatnya tengah nongkrong di salah satu jalanan sepi. Mereka tampak santai, merokok, makan kuaci, dan bermain game online. Sepertinya mereka sedang menunggu seseorang. Deva mengapit rokok di jarinya, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi, seperti biasanya.

"Tawurannya jadi nggak sih?" tanya Leo sambil menatap ke arah jalan.

"Anak SMA sebelah bilangnya mau lawan Deva," jawab Sandy sembari memainkan ponselnya.

"Kita nonton doang, kan?" tanya Atha, yang masih terlihat polos dibandingkan yang lain.

"Yoi, tontonan gratis seperti biasa," sahut Rian santai.

"Kayaknya mereka nggak pernah kapok ya berurusan sama Dev?" heran Irsyad.

"Selama mereka masih hidup, pasti bakal terus ngajak Dev tawuran," jawab Leo sembari menghela napas.

Hamiz yang duduk di sebelah Deva meliriknya. "Dev, bokap tahu nggak soal ini?"

"Tahu," jawab Deva singkat, sambil mengisap rokoknya.

"Bokap lu ngizinin lu tawuran?" Sandy mengangkat alis, sedikit terkejut.

"Iya," jawab Deva singkat lagi.

Leo tertawa kecil. "Wajar sih. Bokap lu kan dulunya biang onar pas SMA. Anak mah tinggal nurunin sifat bapaknya."

"Bahasamu frontal sekali, Leo," ucap Irsyad sambil geleng-geleng kepala.

Leo mengangkat bahu. "Kenyataan, bro. Bokap gue pernah cerita, Om Fahri tuh nakalnya kebangetan waktu SMA."

"Padahal Om Fahri kelihatannya ramah banget, ya. Lah, ini anaknya malah kayak batu es berjalan," Sandy menunjuk Deva sambil cekikikan.

Hamiz mendesah pelan. "Sejak Tante Bella meninggal, Dev berubah total."

Leo mengangguk setuju. "Iya, pas Tante Bella masih ada, Dev sering bercanda sama kita. Sekarang dia kayak orang lain."

Hamiz menatap Deva. "Lu trauma gara-gara kejadian itu, Dev?"

"Jangan bahas itu," tekan Deva dingin, tatapannya menusuk.

"Maaf, menyinggung lu," ucap Hamiz merasa bersalah.

Suasana hening sejenak, sampai Atha bersuara. "Pas Bang Dev sakit minggu lalu, lucu banget deh. Digendong terus sama Om Fahri. Bang Dev nggak mau jauh dari beliau."

Sandy tertawa mengingatnya. "Parahnya, gua lihat Dev pakai empeng pas tidur."

"Empeng? Seriusan lu?!" pekik Rian.

"Suer! Gua pikir cuma gua yang salah lihat, eh ternyata beneran empeng!" jawab Sandy, tertawa sambil mengangkat tangan.

"Astaga, pasti ulah papa," batin Deva sambil menghela napas.

Percakapan terus berlanjut, diselingi candaan dan ledekan, sampai akhirnya suasana berubah ketika suara langkah kaki terdengar mendekat. Sekelompok siswa berseragam sekolah lain muncul, jumlahnya puluhan. Mereka menyeringai, penuh tantangan.

"Kalian belum kapok, ya?" sindir Sandy.

Seorang siswa dari kelompok itu melangkah maju. "Gua nggak mau banyak bacot. Gua cuma mau lawan Deva. Yang lain nggak usah ikut campur."

Leo berdiri, terlihat emosi. "Curang lu kalau rame-rame lawan Dev!"

"Gua pengen Deva mati di tangan gua!" teriak siswa itu.

"Lu bukan malaikat maut!" balas Hamiz kesal.

"Semua mundur. Gua lawan mereka sendiri," ucap Deva tiba-tiba.

(Revisi) Deva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang