Deva dan Fahri keluar dari ruang BK dalam keheningan. Tanpa banyak bicara, Fahri tiba-tiba mengajak Deva membolos hari ini, sesuatu yang langsung disambut antusias oleh Deva.
"Dev yakin mau bolos?" tanya Fahri sambil melirik anaknya.
"Dibully terus di kelas, mending bolos aja," jawab Deva santai.
Fahri menghela napas. "Ke mall mau?" tawarnya, mencoba mencerahkan suasana.
"Boleh. Aku lapar juga," ucap Deva sambil menyentuh perutnya.
Perjalanan ke salah satu mal terbesar di Bandung memakan waktu 30 menit. Saat sampai, Deva dengan cueknya melepas kemeja sekolahnya dan melemparkannya ke wajah Fahri.
"Kurang ajar kau, Dev!" gerutu Fahri kesal sambil menarik kemeja itu dari wajahnya.
"Gerah, Pah," sahut Deva santai.
Fahri mendengus pelan. "Terserahlah. Papa cuma punya satu anak, tapi kelakuanmu bikin papa harus elus dada terus," ujarnya sambil geleng-geleng kepala.
Deva tersenyum kecil, lalu tiba-tiba memanggil, "Pah!"
"Ya, kenapa?" jawab Fahri, menoleh ke arah anaknya.
"Hari ulang tahun Mama mendatang, aku mau kasih baju untuk anak-anak yang belum pernah melihat ibu mereka," ucap Deva dengan nada serius.
Fahri terdiam sejenak, lalu tersenyum bangga. "Niatmu bagus, Nak. Ayo, kita cari toko baju anak-anak. Oh, dan sekalian cari sepatu untukmu," katanya sambil merangkul pundak Deva.
"Eh? Aku nggak minta sepatu, lho, Pah," ucap Deva bingung.
"Sepatu sekolahmu warnanya merah, harusnya hitam. Dan papa lihat sepatu hitammu sudah kekecilan. Kalau memang kekecilan, bilang saja ke papa," ujar Fahri sambil menatap Deva dengan lembut.
"Waktu itu aku mau bilang, cuma papa kelihatan sibuk, jadi nggak jadi deh. Eh, malah kelupaan," jawab Deva sambil menggaruk belakang kepalanya dengan malu.
Fahri hanya tersenyum dan mengacak rambut Deva. "Papa kan selalu ada buat kamu, Dev."
Setelah selesai berbelanja semua yang diperlukan, Deva dan Fahri menuju panti asuhan bernama Kasih Bunda. Deva membawa semua barang yang dibelinya, sementara Fahri hanya membantu dengan santai. Di panti asuhan, ekspresi wajah Deva tetap datar seperti biasa, tetapi jika diperhatikan lebih saksama, sorot matanya menunjukkan sedikit kebahagiaan.
"Datang cuma berdua aja, lu?" suara Leo memecah keheningan.
Leo datang bersama ayahnya, Putra. Namun, seperti biasa, Deva tidak menanggapi ucapan Leo sama sekali. Leo mendengus kesal karena tidak mendapat respon, tapi ia tahu itu memang sifat Deva yang sulit ditebak.
"Om kasih makan apa sih sama anaknya?" tanya Leo pada Fahri sambil melirik Deva.
"Nasi, seperti biasanya," jawab Fahri santai.
"Kirain dikasih tambahan semen, makanya anaknya datar banget kayak tembok," ledek Leo sambil tertawa kecil.
"Leo, jangan begitu!" tegur Putra dengan nada tegas.
"Iya, Ayah," balas Leo cepat, sedikit merengut.
Fahri tersenyum tipis. "Kalian ngobrol sana, papa dan ayahmu ada urusan soal bisnis," ucap Fahri sambil melambaikan tangan.
Deva hanya mengangguk pelan, lalu tanpa banyak bicara menarik tangan Leo menjauh dari kedua ayah mereka. Ia membawa Leo ke taman belakang panti asuhan, tempat yang tenang dan cocok untuk dirinya.
Saat sampai di taman, Leo melepaskan genggaman Deva dari pergelangan tangannya. Ia menatap Deva sejenak sebelum menghembuskan napas panjang.
"Bokap lu udah bilang soal rencana mau nikah lagi?" tanya Leo, memecah keheningan.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Revisi) Deva (END)
Teen FictionZyandru Bakrie Radeva, yang akrab dipanggil Deva, dikenal sebagai cowok dingin yang sering dijuluki kulkas berjalan oleh teman-temannya. Di balik sikapnya yang keras, Deva menyimpan trauma berat akibat suatu kejadian di masa lalunya. Meskipun terkes...