Datang ke sekolah seharusnya menjadi tempat mendapatkan ilmu dan teman. Namun, itu tidak berlaku bagi Deva. Hari ini, dia kembali menjadi korban perundungan teman-teman sekelasnya. Tepung, kecap, dan telur busuk dilemparkan ke tubuhnya tanpa ampun. Deva tidak melawan sama sekali tidak karena dia takut, tapi karena berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membuat Fahri, ayahnya, malu memiliki anak seperti dia.
"Oi, bodoh!"
"Lu pikir ancaman Pak Mahendra berpengaruh sama gua? Nggak tuh!"
"Benar banget, cuma ancaman murahan gitu!"
"Hahahaha!"
Bel sekolah berbunyi, menandakan guru akan masuk ke kelas. Namun, bahkan kehadiran guru tidak membuat mereka berhenti. Guru hanya menatap, tak berdaya karena anak-anak yang merundung Deva adalah anak-anak dengan pengaruh besar di sekolah.
Deva berdiri perlahan, lalu keluar dari kelas tanpa sepatah kata. Dia menuju toilet untuk membersihkan tubuhnya yang bau dan kotor akibat perundungan. Sesampainya di toilet, dia membuka seragamnya yang berlumur telur busuk, lalu mengambil seember air untuk membersihkannya.
"Dev janji nggak mau nyusahin Papa," batin Deva sambil menggosok seragamnya dengan hati-hati.
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.
"Bos, ada mangsa nih!"
Deva menoleh dan mendapati Zian, anak buah Arif, berdiri di pintu toilet dengan senyum licik. Arif, yang adalah sepupu Deva, muncul di belakangnya dengan seringai penuh ejekan. Meski mereka memiliki hubungan darah, Arif selalu bermusuhan dengan Deva. Di depan Fahri, Arif selalu berpura-pura baik demi mendapatkan perhatian Fahri, tapi Fahri tak pernah sekalipun memberikan perhatian itu padanya.
"Masih bersih-bersih, kakak sepupu?" ejek Arif sambil melemparkan air got ke tubuh Deva.
Deva tidak merespons. Dia tetap fokus membersihkan seragamnya, meski kini ada noda hitam tambahan. Lemparan air got itu diikuti oleh tumpahan berbagai cairan lain. Setelah puas, Arif dan anak buahnya pergi, meninggalkan Deva yang penuh dengan campuran tepung, tinta, telur, dan entah apa lagi.
Deva berdiri di depan cermin toilet, menatap tubuhnya yang penuh noda. Rambutnya lengket karena lem, dan baunya sangat menyengat.
"Papa pasti marah," gumam Deva lirih.
"Astaga, Deva!" suara Leo menggema di belakangnya.
Leo, salah satu sahabat Deva, memandangnya dengan tatapan marah. Darah Leo mendidih melihat kondisi Deva yang seperti itu.
"Gua bilang sama Om Fahri, ya!" ancam Leo.
"Tidak," jawab Deva tegas, menahan pergelangan tangan Leo.
"Dev, lu nggak bisa terus kayak gini! Lihat diri lu! Ini jauh dari kata baik!" kesal Leo.
Namun, Deva tidak memperdulikan ucapan Leo. Dia keluar dari toilet untuk mengambil seragam gantinya di loker. Namun, ketika membuka lokernya, Deva mendapati isinya dipenuhi sampah. Dengan helaan napas panjang, Deva memutuskan untuk meminjam seragam dari Irsyad.
Di kelas Irsyad, cibiran kembali terdengar dari teman-teman yang melihatnya. Irsyad segera menarik tangan Deva keluar kelas dan membawanya ke atap sekolah.
"Pakailah jaket gua biar lu nggak masuk angin," ucap Irsyad sambil memberikan jaketnya pada Deva.
Deva memakainya tanpa banyak bicara, lalu duduk di sudut atap dengan tatapan kosong. Tak lama, langkah kaki mendekat. Semua sahabat Deva datang, terlihat khawatir melihat kondisinya.
"Astaga, Dev!" pekik Hamiz.
"Kita antar pulang aja yuk!" usul Rian.
"Mereka nggak kapok-kapok, padahal Om Fahri udah ngancam!" kesal Sandy.

KAMU SEDANG MEMBACA
(Revisi) Deva (END)
Ficção AdolescenteZyandru Bakrie Radeva, yang akrab dipanggil Deva, dikenal sebagai cowok dingin yang sering dijuluki kulkas berjalan oleh teman-temannya. Di balik sikapnya yang keras, Deva menyimpan trauma berat akibat suatu kejadian di masa lalunya. Meskipun terkes...