Deva duduk sendirian di ruang tamu, menatap halaman belakang rumah. Hari ini sekolah diliburkan karena ada rapat guru, dan Fahri masih sibuk di kantor. Jam baru menunjukkan pukul 10 pagi, tapi Deva sudah merasa bosan.
"Papa kapan pulang sih?" gumamnya pelan, berbicara pada dirinya sendiri.
Ia merindukan Fahri. Deva ingin memeluk tubuh ayahnya erat-erat dan menghirup aroma parfum khas Fahri yang selalu menenangkan. Sahabat-sahabatnya sering meledek Deva sebagai "anak manja" karena kedekatannya dengan Fahri, tapi Deva tidak peduli. Bagi Deva, Fahri adalah segalanya.
Deva kembali mengingat cerita Bella, ibunya, tentang masa lalu Fahri yang kelam. Bella pernah bercerita bahwa Fahri tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua kandungnya. Itulah alasan Fahri selalu memanjakan Deva, memastikan anaknya tidak pernah merasakan hal yang sama.
Deva mendesah. "Dev jadi pengen hajar kakek dan nenek jadinya. Mereka jahat sama papa. Papa itu jenius, buktinya bisa jadi arsitek dan punya galeri seni di Spanyol," ucap Deva dengan nada geram.
"Tidak perlu, Dev. Apa yang mereka lakukan sudah lama berlalu."
Suara Fahri terdengar tiba-tiba dari belakang. Deva yang semula duduk santai, langsung meloncat berdiri dan memeluk Fahri erat-erat. "Dev tahu itu pasti membekas di hati papa," ucapnya lirih, tubuhnya sedikit bergetar.
Fahri tersenyum kecil dan membelai kepala Deva. "Sudahlah, kita bahas yang lain saja. Nih, papa bawakan sepatu baru pesananmu," katanya sambil menunjukkan paper bag cokelat.
Namun, Deva malah menepisnya dan kembali memeluk Fahri, kali ini lebih erat. "Dev mau bobo siang," gumam Deva, suaranya terdengar serak, seperti menahan tangis.
"Masih pagi, Dev. Sekarang baru jam 10," jawab Fahri sambil melirik jam dinding.
"Dev capek," lirih Deva lagi.
Fahri menatap anaknya, menyadari ada yang tidak biasa. "Kamu memikirkan sesuatu, ya?" tanyanya lembut.
Deva menggeleng, tapi kemudian berkata pelan, "Papa jangan kerja. Dev takut sendirian."
Fahri tersenyum tipis, mencoba menenangkan. "Pagi tadi papa ajak kamu ikut ke kantor, kamu malah tidak mau. Papa pikir kamu mau bermain atau balapan liar seperti biasanya."
"Balapan liarnya nanti malam, jam delapan," jawab Deva dengan nada datar.
Fahri menghela napas. "Papa sedang menyiapkan paspor kita untuk ke Amerika. Malam ini papa lembur, jadi Dev nginap saja di rumah Leo atau Hamiz, ya?" Fahri mencoba meyakinkan. "Papa jaga kesehatan kok, kamu tidak perlu khawatir."
Deva tetap memeluk Fahri erat, bahkan lebih erat dari sebelumnya. Ia menggeleng. "Papa, jangan pergi. Entah kenapa Dev merasa tidak enak. Ada sesuatu yang akan terjadi di restoran itu," ucapnya lirih, suaranya bergetar.
Fahri terdiam sejenak, lalu mengalah. "Baiklah. Papa akan batalkan meeting hari ini."
Deva perlahan melepaskan pelukannya dan duduk di sofa. Ia membuka paper bag cokelat yang tadi jatuh ke lantai. "Selera papa memang keren," puji Deva, senyumnya mulai kembali.
Fahri hanya tersenyum. Ia tahu, Deva selalu mempercayakan urusan outfit padanya, mulai dari kemeja hingga sepatu. Apapun yang Deva minta, Fahri selalu berusaha memilihkan yang terbaik.
"Papa, sebenarnya aku malas ke Amerika," ucap Deva tiba-tiba. "Aku nggak ngerti bahasa Inggris. Kalau ditertawakan, kan nggak lucu."
Fahri tertawa kecil. "Papa kenal salah satu orang di NBA. Nanti papa perkenalkan."
Deva menatap Fahri dengan mata melebar. "Hah?!"
"Tutup mulutmu, nak. Nanti lalat masuk," jawab Fahri santai, sambil mengacak rambut Deva.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Revisi) Deva (END)
Teen FictionZyandru Bakrie Radeva, yang akrab dipanggil Deva, dikenal sebagai cowok dingin yang sering dijuluki kulkas berjalan oleh teman-temannya. Di balik sikapnya yang keras, Deva menyimpan trauma berat akibat suatu kejadian di masa lalunya. Meskipun terkes...