Deva baru ingat hari ini adalah Hari Ibu. Hari yang spesial untuk memberikan kado atau sekadar ucapan kepada orang yang telah melahirkanmu ke dunia ini. Ia melirik sebuah foto Bella yang terpajang dekat rak penuh piala miliknya. Meski tidak unggul dalam akademik, sejak kecil Deva sudah menorehkan prestasi di bidang olahraga dan menggambar, yang membuat rak tersebut penuh dengan piala.
“Dev, ayo sarapan!” panggil Fahri dari lantai bawah.
“Iya, Papa!” sahut Deva sambil bergegas menuruni tangga dengan berlari.
Fahri yang sedang duduk di meja makan hanya melirik sekilas, tidak berniat menasihati anaknya soal kebiasaan itu. Mereka menikmati sarapan dalam diam.
Setelah selesai makan, Deva mengambil alih mencuci piring, sementara Fahri kembali sibuk dengan pekerjaannya untuk beberapa saat. Deva menaruh semua peralatan masak yang sudah ia bersihkan ke rak pengering. Ia mengelap kedua tangannya hingga kering sebelum menuju kamar untuk mengambil sesuatu ponselnya.
Begitu layar ponsel menyala, sebuah notifikasi dari grup sekolah menarik perhatiannya. Semua siswa diwajibkan datang ke sekolah pukul sepuluh pagi untuk memperingati Hari Ibu.
“Memperingati Hari Ibu, tapi Mamaku sudah tenang di surga,” lirih Deva sambil menatap layarnya kosong.
Setelah menarik napas panjang, Deva mengganti bajunya dengan seragam putih abu-abu. Ia berniat menumpang dengan salah satu sahabatnya untuk pergi ke sekolah.
Nama yang pertama kali muncul di benak Deva adalah Hamiz. Dengan cepat, Deva menghubungi Hamiz untuk menanyakan apakah mereka bisa berangkat bersama. Namun, Hamiz menjelaskan bahwa ia akan berangkat ke sekolah bersama bundanya.Deva lalu mencoba menghubungi sahabat lainnya, Leo, dengan harapan bisa menumpang. Sayangnya, Leo juga tidak bisa karena ibunya ingin menemani dan berangkat bersamanya.
Tidak menyerah, Deva mengirim pesan kepada Rian. Namun, jawaban yang ia dapatkan tetap sama. Rian berencana pergi bersama mamanya.
Deva kemudian mencoba Sandy. Awalnya ada sedikit harapan, tetapi Sandy mengatakan bahwa ia masih harus menunggu ibunya berdandan, bahkan menyarankan Deva untuk berangkat lebih dulu.
Ketika Deva hendak menghubungi Irsyad, sebuah pesan masuk dari Irsyad lebih dulu. Dalam pesannya, Irsyad mengabarkan bahwa ia tidak bisa hadir di acara hari ibu. Ia dan kedua abang kembarnya telah merencanakan kejutan spesial untuk bundanya. Irsyad juga menitipkan salam untuk teman-teman lewat Deva.
Sahabat terakhir yang bisa ia andalkan adalah Atha. Namun, ternyata Atha juga tidak bisa. Atha diberi pesan oleh ayahnya untuk menjaga mommy-nya di rumah, sehingga ia tak bisa menemani Deva.
Deva menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya dengan kesal. Lagi-lagi, ia harus pergi sendirian untuk memperingati hari ibu, seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak pernah sekalipun Deva memberitahukan Fahri tentang acara wajib ini di sekolahnya.
Dengan berat hati, Deva membuka lemari pakaiannya. Ia mengambil sebuah jaket hitam polos untuk dikenakan. Deva memutuskan untuk menyamarkan kepergiannya ke sekolah agar tidak merepotkan Fahri.
Suara ketukan sepatu yang digunakan Deva menarik perhatian Fahri dari layar laptopnya. Ia sedikit heran melihat putranya terlihat begitu rapi. Biasanya, jika sedang libur sekolah, Deva hanya mengenakan kaos polos tanpa lengan dan celana pendek.
“Lu mau ke mana?” tanya Fahri sambil menatap Deva.
“Gua mau menyegarkan otak dulu,” jawab Deva, memasang wajah biasa, meskipun hatinya dipenuhi rasa was-was. "Semoga Papa nggak curiga," batinnya berharap.
“Pulang jangan kemalaman,” pesan Fahri.
“Laksanakan, Tuan Mahendra!” seru Deva sambil memasang pose hormat.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Revisi) Deva (END)
Teen FictionZyandru Bakrie Radeva, yang akrab dipanggil Deva, dikenal sebagai cowok dingin yang sering dijuluki kulkas berjalan oleh teman-temannya. Di balik sikapnya yang keras, Deva menyimpan trauma berat akibat suatu kejadian di masa lalunya. Meskipun terkes...