Suasana hening menyelimuti atap sekolah, tempat sekelompok pemuda sedang bercengkerama. Namun, suasana itu tidak berlaku bagi Deva, yang memilih berbaring malas di sudut, enggan terlibat dalam obrolan mereka. Teman-temannya sudah terbiasa dengan sifat dingin Deva yang cenderung pendiam.
"Atha, lu sekolah belajar apa aja sih selama ini?" tanya Sandy dengan nada heran.
"Belajar seperti biasa, Bang Sandy," jawab Atha santai.
"Hebat lu, bisa loncat kelas langsung ke SMA, padahal harusnya masih SMP," puji Rian sambil mengangguk kagum.
"Ah, aku biasa aja kok, Bang Rian," balas Atha, sambil menggaruk belakang kepalanya dengan malu-malu.
"Jangan dipuji terus, nanti dia terbang tuh hidungnya," ejek Leo dengan tawa kecil.
"Astaga, Bang Leo! Aku beda sama Daddy tahu!" protes Atha kesal.
"Makan tempe doang, gaya manggilnya ‘Daddy,’" balas Sandy, meledek.
"Kalian ini ngalah dikit sama yang lebih muda," ujar Irsyad sambil terkekeh.
"Biasalah, mereka rada gesrek. Maklumi aja, Atha," timpal Hamiz.
Sandy lalu melirik ke arah Deva yang tetap berbaring diam tanpa minat bergabung. "Tuh, si batu es diem mulu. Lagi simulasi jadi tembok kali," ujarnya, menunjuk ke arah Deva.
"Hm," gumam Deva pendek, tanpa mengalihkan pandangannya.
"Nisa Sabyan lu! Hm-hm mulu!" teriak Rian, mencoba memancing reaksi.
"Kapan sih sifat lu berubah kayak dulu lagi, Dev?" tanya Hamiz, penasaran.
"Entahlah," jawab Deva singkat.
Atha memandang mereka semua dengan senyum kecil. "Kalian ini sudah seperti kakak bagiku. Sifat kalian beda-beda."
"Wajar, Atha. Lu kan paling muda di antara kita semua. Bahkan Deva aja bisa satu kelas sama lu," timpal Irsyad.
"Eh, jangan nyinggung perasaan Deva. Dia pasti dengerin kita semua kok," ucap Hamiz sambil melirik Deva.
"Dev!" panggil Leo tiba-tiba.
"Apa?" balas Deva dengan suara datar.
"Lu nggak mau ikutan tawuran antar sekolah akhir pekan ini?" tanya Sandy.
"Nggak," jawab Deva singkat.
"Ada acara sama Om Fahri, ya?" tebak Atha.
"Iya," sahut Deva, masih dengan nada dingin.
"Idih, bilang aja mau porotin duit bokap lu, kan?" tuduh Rian sambil tertawa.
"Sembarangan lu," ucap Deva, sedikit kesal.
Mendengar itu, teman-temannya malah tertawa keras.
Deva hanya menatap mereka dengan ekspresi datar, lalu bangkit dan pergi meninggalkan mereka tanpa sepatah kata. Pintu atap sekolah dibanting keras, membuat suara dentumannya menggema.
Melihat itu, teman-temannya saling berpandangan dan tertawa kecil. Mereka sengaja meledek Deva, berharap bisa memancing ekspresi lain dari pemuda dingin itu, meski yang terjadi justru semakin memperburuk suasana hati Deva.
"Sulit banget tantangan dari Om Fahri," keluh Sandy sambil duduk bersandar di tembok, melirik teman-temannya yang sibuk dengan rencana masing-masing.
"Bukan main. Tapi hadiahnya juga sebanding, bro," sahut Rian, menyilangkan tangan dengan senyum penuh antusias.
Irsyad mengangguk sambil memutar bolpoin di jarinya. "Iya, sih. Soalnya kalau minta yang kayak gitu ke abang twins gua, susahnya minta ampun."
Atha, yang duduk paling muda di antara mereka, tersenyum kecil. "Aku juga mau banget lihat Bang Deva tersenyum, sekali aja. Udah lama banget kan nggak lihat dia senyum?"
KAMU SEDANG MEMBACA
(Revisi) Deva (END)
Teen FictionZyandru Bakrie Radeva, yang akrab dipanggil Deva, dikenal sebagai cowok dingin yang sering dijuluki kulkas berjalan oleh teman-temannya. Di balik sikapnya yang keras, Deva menyimpan trauma berat akibat suatu kejadian di masa lalunya. Meskipun terkes...