21 (si jenius)

1.9K 138 102
                                    

Deva tidak mau lepas dari Fahri sama sekali. Fahri makan, namun Deva membuka mulutnya, membuat Fahri menyuapinya.

"Hidungmu kenapa?" tanya Fahri dengan cemas.

"Kebentur dinding kantor, pah," jawab Deva.

"Jangan bohong, Dev!" tegas Fahri.

"Grandpa," cicit Deva pelan.

"Ck, si tua bangka!" kesal Fahri, tampak emosi.

Melihat Fahri emosi, Deva khawatir. Dengan cepat, dia mengambil sendok dari tangan Fahri dan meminta Fahri untuk membuka mulut.

Fahri menurut dan membiarkan Deva menyuapinya. Deva fokus menyuapi Fahri tanpa banyak berbicara.

"Oi, keponakan gua, makan buruan! Dari pagi belum makan, lu! Ntar gua kena amuk daddy dan mommy, kan repot!" pekik Roy dari pintu.

"Ucapanmu benar, bang?" tanya Fahri, menoleh pada Roy.

"Eh, si tengil udah bangkit!" kaget Roy melihat Fahri yang sudah sadar.

"Dikira gua mati kali," gerutu Fahri, sedikit kesal.

Roy menyerahkan plastik yang dibawanya kepada Deva, lalu langsung memeluk tubuh Fahri sangat erat. Pelukan kakak beradik itu harus dipisahkan karena Deva mendorong tubuh Roy sampai terjungkal.

"Ri, lihat anak lu!" adu Roy.

"Udahlah, bang. Kayak kagak tahu anak gua aja," ucap Fahri sambil menggelengkan kepala.

"Papa, aku keluar dulu ya," ujar Deva dengan ragu.

"Zyandru Bakrie Radeva, diam di sini. Habiskan makananmu di hadapan ayahmu. Papa tahu kalau kau keluar ruangan ini, maka makanan itu akan dibuang olehmu!" tegas Fahri dengan suara serius.

Deva duduk kembali, dan itu membuat tawa Roy pecah. "Ayolah, Deva, sulit banget diatur. Disuruh makan aja harus dipaksa berkali-kali," canda Roy.

Deva hanya diam, tapi saat diminta menjadi muadzin atau imam salat berjamaah, dia sangat mudah melakukannya.

"Badan lu ada yang sakit gak?" tanya Roy, mengganti topik.

"Kepala gua sama kaki aja sih yang kerasa sakit," jawab Fahri.

"Kaki kanan lu patah, dan belakang kepala lu ada sedikit benturan cukup keras," ujar Roy, mengamati kondisi Fahri.

"Pantes masih agak sedikit puyeng," ucap Fahri, menyentuh kepalanya yang terasa pusing.

"Mobil lu hancur," ujar Roy, mengingatkan.

"Biarin. Terpenting nyawa dibandingkan harta," jawab Fahri santai.

"Gua mau gosip deh sama lu bentaran," ujar Roy tiba-tiba.

"Kagak demen gosip, lebih suka janda," celetuk Fahri dengan tawa kecil.

"Papa tidak boleh menikah lagi!" protes Deva, mendengar percakapan itu.

"Tidak akan, nak," jawab Fahri dengan tegas, memastikan.

"Dev, izinkan saja papamu menikah lagi. Nah, nanti kamu punya ibu dan adik baru, lho," bujuk Roy dengan santai.

"TIDAK!" marah Deva, dengan suara tinggi.

"Bang, udahlah. Gua kagak masalah nggak menikah lagi," ucap Fahri, mencoba meredakan keadaan.

"Dev, om bercanda. Maafin ya, lu baperan amat dah, kayak bapak lu," canda Roy.

"Om jelek," gerutu Deva, sedikit kesal.

"Sabar, Roy mah cowok ganteng," ujar Roy sambil mengelus dadanya, percaya diri.

(Revisi) Deva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang