Deva memasuki lobi kantor dengan langkah santai, dan seperti biasanya, kehadirannya langsung menarik perhatian. Semua karyawan yang ada di sana langsung membungkukkan badan, menghormati Deva sebagai putra tunggal dari bos mereka, Fahri. Mereka tahu betul bahwa jika ada yang berani menghinanya, sanksi tegas dari Fahri akan segera mereka terima.
Deva melangkah menuju lift dan menekan angka 20 untuk menuju lantai tempat ruangan Fahri berada. Di dalam lift, Deva fokus memeriksa ponselnya, memberitahukan beberapa orang tentang aksi yang terjadi di sekolah. Namun, suara lift berhenti tiba-tiba, mengganggu fokusnya. Deva menyimpan ponselnya ke dalam saku celana sekolah, siap keluar begitu pintu lift terbuka. Sesampainya di depan ruangan bertuliskan "Owner Room", Deva memutar kenop pintu dan masuk.
Di dalam ruangan, Fahri tengah fokus menghadap laptop. Suara pintu yang terbuka membuat Fahri menoleh, sedikit terkejut dengan kedatangan Deva.
"Kau ini nak kebiasaan," ujar Fahri sambil tersenyum.
"Maaf," Deva menjawab pelan, menundukkan kepalanya, merasa sedikit malu.
Fahri langsung menarik tangan Deva, menyuruhnya duduk, lalu segera mencari kotak P3K untuk mengobati luka-luka di wajah Deva. Deva duduk dengan tenang, membiarkan ayahnya merawatnya. Meskipun Deva tidak pernah melarang Fahri untuk menikah lagi, Fahri lebih memilih untuk membesarkan Deva sendirian. Fahri khawatir jika istri barunya nanti tidak bisa menerima kehadiran Deva sebagai anaknya.
"Papa!" Deva merajuk, menarik perhatian Fahri.
"Jagoan kenapa berkelahi, hm?" tanya Fahri sambil memeriksa luka di wajah Deva.
"Mereka yang mulai! Dev kan diem mulu seperti anak baik. Tiba-tiba mereka bilang papa bodoh, jadi Dev marah. Dev hajar mereka, eh guru BK malah datang," adu Deva dengan nada seperti anak kecil yang kecewa.
"Manja kamu kumat, Dev," jawab Fahri, tersenyum geli.
"Biarin sama papa manja-nya!" pekik Deva dengan semangat.
Fahri tersenyum lebar dan memeluk Deva yang tubuhnya memang lebih tegap dibandingkan waktu kecil. Deva selalu manja dengan ayahnya, dan itu membuat Fahri merasa bangga sekaligus gemas.
"Papa gendong!" rengek Deva, menarik-narik tangan kanan Fahri.
"Kamu berat, Dev. Kemarin papa lihat timbangan kamu naik 5 kg," jawab Fahri, sedikit jahil.
"Ish, biarin berat badanku naik! Berarti papa banyak kasih aku makan!" Deva pekik, agak kesal dengan pernyataan Fahri.
"Tidak nanti papa sakit pinggang setelah menggendong kamu," tolak Fahri, tersenyum.
"Dev mau dipuk-puk papa!" rengek Deva, terus menarik-narik tangan Fahri.
"Ganti baju dulu saja, Dev," Fahri mencoba mengalihkan perhatian.
"Gak mau!" tolak Deva dengan ekspresi manisnya, tangannya disilangkan di depan dada.
Fahri melihat Deva yang berdiri dengan ekspresi datar, namun dengan bibir melengkung ke bawah dan hidung yang kembang kempis, membuat wajah Deva yang biasanya tampak manly menjadi sangat lucu. Deva benar-benar seperti bayi besar yang membuat hati Fahri semakin sayang.
Fahri tersenyum lembut melihat Deva yang memaksa dengan caranya sendiri, meskipun dia tahu bahwa Deva terkadang bisa sangat manja. "Ayolah ganti baju ya. Papa ingin mengobati luka memar di perut kamu," bujuknya dengan nada lembut.
Deva meringis, menolak dengan keras, "Sakit, tidak mau diobati!" pekiknya, seolah merasa lebih baik jika luka-lukanya dibiarkan saja.
Fahri tak gentar dan mencoba membujuk lebih lagi, "Diobati biar tidak infeksi," kata Fahri, mengingatkan bahwa ini demi kebaikan Deva.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Revisi) Deva (END)
Teen FictionZyandru Bakrie Radeva, yang akrab dipanggil Deva, dikenal sebagai cowok dingin yang sering dijuluki kulkas berjalan oleh teman-temannya. Di balik sikapnya yang keras, Deva menyimpan trauma berat akibat suatu kejadian di masa lalunya. Meskipun terkes...