Takdir?

219 31 14
                                    

Happy reading 💙

Takdir. Siapa yang bisa mengatur selain Tuhan? Tidak ada. Jika takdir tak sesuai dengan apa yang kita harapkan kita pun hanya bisa mengikhlaskan, tak akan bisa kita merubah suatu takdir yang sudah Tuhan kehendaki bukan?

Rezeki, jodoh, hingga umur kehidupan manusia tak akan ada yang tahu. Semua sudah Tuhan atur sedemikian rupa dan rencana-Nya akan selalu lebih baik dari apa yang kita pikirkan.

Seperti saat ini di tempat peristirahatan terakhir, di suatu pemakaman, dan rumah abadi untuk seorang Zeino Alfarez Anderson. Jasad Zeino sudah dimakamkan sejak 15 menit lalu, tapi deru tangisan dari orangtua, kerabat, hingga Sheila dan teman-teman yang lain masih mengiringi kepergian Zein. Taburan bunga-bunga sudah menghiasi gundukan tanah merah di tengah-tengah mereka.

Ada tangis pilu sang ibu yang sangat menyayat hati saat kehilangan anak satu-satunya untuk selamanya, dan derasnya air mata yang turun dari kedua mata ayahnya seakan menjadi waktu untuknya. Tetes demi tetes air mata mengingatkannya kepada sosok sang anak semata wayangnya, anak satu-satunya yang seharusnya ia sayangi sepenuh hati, jiwa dan raga. Bukan dengan tekanan dan paksaan atas kehendak dari seorang ayah.

Tetes demi tetes air mata berlompatan keluar dari pelupuk Mr.Anderson. Yang ada dalam bayangannya saat ini hanya wajah datar, mata sayu, dan tatapan sendu sang jagoan kecilnya yang selalu ditampilkan karena perlakuannya. Menyesal? Sangat. Rasanya seperti ia tidak pantas lagi meminta maaf jika anaknya pun sudah tidak mau lagi hidup melihat seorang ayah sepertinya.

Beberapa orang juga sudah meninggalkan pemakaman Zein dengan perasaan tidak percaya dan mau tak mau harus mengikhlaskan. Tersisa orangtua Zein, Fajri, Sheila dan Fenly yang masih setia berdiri memandangi gundukan tanah di depan mereka.

"Sayang, maafin Mama ya nak. Mama belum bisa jadi Mama yang baik buat kamu, maafin Mama sayang."

"Zeino, maafin Papa ya. Tapi maaf pun ga cukup buat menebus kesalahan Papa sama kamu nak. Papa tahu Papa adalah orangtua yang jahat selama ini, maaf." Suara bergetar dari sang ayah yang kini kehilangan sebagian dari hidupnya terdengar sangat pilu, membuat semua orang disana seketika terharu ikut merasakan kepiluannya.

"Pa, kita pulang ya Mama ga kuat disini."

"Tapi Zein belum maafin Papa Ma ..."

"Mama yakin Zeino kesayangan kita sudah maafin Papa nya, Zein kemarin juga bilang ngga benci Papa jadi Papa jangan khawatir, Zein bahagia diatas sana." Mrs.Anderson berusaha membuat suaminya lebih tenang walaupun sebenarnya tidak ada yang lebih kuat diantara kedua orangtua itu.

Akhirnya kedua orangtua itu pergi meninggalkan tempat peristirahatan terakhir anaknya, menyisakan ketiga remaja yang masih terdiam. Satu diantara ketiga remaja itu adalah perempuan yang masih tidak percaya ini semua terjadi. Baru kemarin ia merasa sangat baik dengan laki-laki yang kini sudah bersatu dibawah tanah merah, rasanya ini terlalu cepat untuk Sheila cerna. Tidak ada persiapan sebelumnya untuk ia mengalami hal ini.

Sheila terduduk mengusap papan nama yang dikelilingi oleh bunga. "Kenapa?"

Isakan Sheila kembali terdengar saat ia mengucapkan beberapa kata yang ia rasa begitu berat, dan saat otaknya memutar kembali kenangan-kenangan yang dilalui bersama Zeino dulu. Bohong jika Sheila bilang sudah melupakan perasaannya kepada laki-laki yang kini sudah tiada, karena tidak semudah itu menghapus perasaan yang sudah bertahun-tahun singgah didalam hatinya.

Saat laki-laki itu mengejarnya, memperlakukan Sheila layaknya barang paling berharga, perpisahan yang menyakitkan dulu, dan kembalinya Zeino di hidupnya beberapa hari lalu hingga kejadian kemarin yang tak ia sangka akan terjadi sebegitu cepatnya.

Ketika Iman yang Berbicara || UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang