01. Langitku

454 45 3
                                    

Bogor, September 2028

Pagi itu, ruangan kerja Katara tenang dan sunyi seperti biasanya. Tumpukan map berisi kertas-kertas di atas meja menunggu giliran untuk disentuh dan diperiksa isinya. Sementara berusaha mencermati dokumen yang saat ini ia pegang, pikirannya ke mana-mana. Ia tidak bisa fokus. Seminggu sebelumnya, ia mendapat telepon untuk mampir sebentar ke rumah. Tetapi, hubungan yang tidak harmonis dengan Ayahnya membuatnya malas, dan kemudian menolak untuk mampir. Perasaan tidak enak yang ia rasakan biasanya benar. Yuk, fokus, yuk.. Katara, please, dong.. Sembari berusaha memfokuskan diri dengan dokumen-dokumen di atas meja, Irena, asisten sekaligus sahabat dan orang kepercayaan Katara, membuka pintu dengan terburu-buru, dan masuk ke ruangan kerja Katara.

"Kaget! Iren! Bisa, nggak, sih, lo ketuk pintu dulu, atau seenggaknya pelan-pel–"

"Nanti dulu lo ngocehnya. Sorry, Ra, kalau yang kayak begini, gue nggak bisa pelan-pelan, apalagi ngetuk pintu dulu," potong Iren, membalas ocehan Katara, yang tidak sempat diselesaikannya. Iren kemudian menyodorkan handphone-nya.

Katara terbelalak membaca tulisan besar di layar, yang merupakan judul artikel yang tadi sedang Iren baca. "Founder sekaligus CEO Katara's Healthy Chocolate, Katara Mahla Arlandi, dikabarkan akan segera menikah," Katara mengulang membaca judul artikel itu dengan lantang.

Iren menggigit bibir bawahnya. Keningnya berkerut. Ia jelas khawatir dengan pemberitaan tidak benar tentang sahabatnya itu.

Katara terdiam sejenak, kemudian tertawa. "Ren, gue pacaran, aja, kagak, Ren, mau nikah sama siapa gue? Sama pohon?" Katara masih tertawa.

Iren ikut tertawa dengan kikuk. "Iya, juga.. Tapi... Kalau lo baca sampai bawah... Di situ dibilang... Lo bakalan nikah sama salah satu pengusaha sukses di Indonesia..," balasnya dengan hati-hati. "Itu... Ehm... Siapa, ya, maksudnya..?"

"Gue nggak tau, si pengusaha ini siapa, tapi yang jelas, gue tau ini ulah Bokap gue," Katara sudah tidak tertawa lagi. Mukanya serius. "Benar perasaan gue nggak enak sejak dapat telepon dari rumah, seminggu yang lalu."

"Lo dapat telepon dari rumah? Kok lo nggak cerita, sih?" protes Iren.

"Nggak penting, lo nggak usah khawatir. Gue cuma disuruh mampir sebentar ke rumah, Bokap gue mau ngomong sesuatu," jawab Katara enteng. "Tapi, gue malas."

Iren bingung harus menjawab apa.

Katara menghela napas. "Kayaknya, mulai hari ini, hidup gue bakal balik nggak tenang kayak dulu lagi.."

***

"Lo belum mau balik?" tanya Iren, memecah keheningan.

"Hah? Emang jam berapa, sih?" Katara balik bertanya.

"Udah jam enam. Gue tau, lo dari tadi kagak bisa fokus," sahut Iren. "Dokumen yang lo pegang itu nggak selesai-selesai lo baca, dari sebelum kita pergi makan siang, sampai sekarang."

Katara terdiam.

"Gue perhatiin lo dari tadi, Ra. Lo... Lo nggak apa-apa?" Iren bertanya dengan sangat hati-hati.

Katara tersenyum. "Lo tenang aja, Ren.. Gue nggak apa-apa. Gue udah tau, sifat Bokap gue emang kayak gitu, cuma agak kepikiran dikit," Katara tertawa renyah. "Sorry, kalau gue kurang fokus dari tadi.."

"Ya, udah! Karena gue cape banget, balik, yuk!" Iren berusaha mencerahkan suasana. "Lo juga harus istirahat! Butuh kekuatan ekstra untuk menghadapi hidup yang berat ini! Tapi, gue yakin, lo pasti bisa, kok, lewatinnya! 'Kan, ada Irena di samping lo!" kata-kata semangat dari Iren ditutup dengan tawa anehnya.

LANGITKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang