24. Kembali ke Awal

92 26 1
                                    

Bogor, April 2029

Saga dan Katara mengetuk pintu kamar rawat inap di rumah sakit. Pintu terbuka, dan Dilara muncul dari balik pintu. Keduanya kemudian diajak masuk. Saga dan Katara memperhatikan Dikta, yang masih terbaring tak sadarkan diri, di atas tempat tidur.

"Gimana keadaan Dikta, Ma?" tanya Saga kepada Dilara.

"Dokter bilang, udah mulai stabil," jawab Dilara. "Tinggal tunggu dia siuman."

"Syukurlah, Ma," ujar Katara, kemudian melihat sekitar. "Papa mana?"

"Papa pulang mandi, sama istirahat sebentar," sahut Dilara. "Udah dari tadi pagi, sih, pulangnya. Harusnya, sebentar lagi udah balik. Makasih, ya, kalian udah datang lagi."

Katara manggut-manggut. "Sama-sama, Ma. Ini Saga yang pengin jenguk dan jagain Dikta, padahal hari ini dia ulang tahun, tapi pengin di sini seharian, katanya."

Dilara terkejut. "Saga hari ini, ulang tahun..? Ya ampun, maaf, Sayang, Mama nggak tau," ia mengulurkan tangannya, yang disambut oleh Saga. "Selamat ulang tahun, ya, Ga.. Doa Mama, semua yang terbaik untuk kamu, dan rumah tangga kalian berdua. Maaf, Mama nggak bisa peluk kamu, karena Mama semalaman di rumah sakit."

Saga mengangguk, mengerti. "It's okay, Ma.. Makasih banyak untuk doanya."

Katara tersenyum, memperhatikan interaksi Saga dan Dilara. "Mama juga, kalau mau pulang mandi sama istirahat, nggak apa-apa, Ma. 'Kan, ada aku sama Saga di sini."

"Makasih, ya, Sayang.. Kalau gitu, coba kita tunggu dulu Papa datang, ya."

Katara mengangguk, setuju. "Oh, iya, Ma, nanti Ayah sama Ibu juga mau datang jengukin Dikta," ia memberitahu Dilara. "Mungkin, sebentar lagi, ya, Ga..?"

"Oh, gitu..?" Dilara langsung terlihat sibuk berpikir. "Ini udah jam makan siang, apa pesan makanan buat diantar ke sini aja, ya..? Kalian berdua udah makan, belum?"

"Sebelum ke sini, kita udah makan, Ma," sahut Saga. "Sempat brunch dulu tadi."

"Pesan aja buat Mama, Papa, Ayah, Ibu," usul Katara. "Aku sama Saga nanti aja, gampang. Atau, sini, biar aku aja yang pesanin," ia menawarkan diri. "Mama mau apa?"

Katara dan Dilara langsung sibuk memperhatikan layar handphone, mengurus pesanan makan siang mereka. Bersamaan, ketika mereka telah selesai memesan, pintu kamar terbuka, menampilkan Marvino, yang melangkah masuk ke dalam ruangan. Namun, bukan hanya Marvino, di belakangnya menyusul masuk juga, Tegar dan Wasti.

***

Ruang rawat inap Dikta mendadak diselimuti kecanggungan yang luar biasa. Tegar, Wasti, Marvino, dan Dilara duduk di sofa panjang, sementara Saga dan Katara duduk di kursi masing-masing, di samping kanan dan kiri tempat tidur Dikta.

Dilara berdehem. "Pak Tegar, Bu Wasti, saya dan Papanya Katara berterima kasih banyak, atas kedatangan Bapak dan Ibu untuk menjenguk Dikta," ia kemudian menoleh ke Saga dan Katara. "Padahal, hari ini ulang tahun Saga, tapi mereka juga datang."

"Oh, ya, Ayah sama Ibu udah makan siang, belum..?" Katara berusaha mencairkan suasana. "Nanti makan bareng di sini, ya! Katara sama Mama udah pesanin makanan."

Tegar dan Wasti mengangguk sambil tersenyum.

"Makasih, ya, cantiknya Ibu," Wasti kemudian menoleh ke Dilara. "Makasih, Bu."

Suasana kembali canggung.

"Mumpung semuanya ada di sini," Marvino akhirnya bersuara. "Saya mau minta waktunya untuk membicarakan sesuatu," ujarnya. "Terkait masalah yang lalu, saya mau memohon maaf dengan tulus, kepada Katara, Saga, Pak Tegar, dan Bu Wasti, atas segala keserakahan saya, yang berniat mengambil alih perusahaan Katara dan Saga," Marvino terlihat sudah menyesali perbuatannya. "Saya minta maaf, karena tidak jujur mengenai Mama kandung Katara, mendiang istri saya, Kirana, kepada Pak Tegar sekeluarga. Dan, untuk Saga dan Katara, Papa minta maaf, atas kejadian di rumah kalian waktu itu, Papa nggak bisa menahan emosi, Mama juga menampar Katara, Papa dan Mama sungguh menyesal, dan berharap kalian bisa memaafkan kami," ia kemudian menatap putrinya, dengan mata berkaca-kaca. "Terlebih Katara... Ra, Papa minta maaf, ya, dari kamu kecil, Papa nggak selalu ada di samping kamu. Gara-gara Papa, hubungan kita renggang, kita jadi nggak terlalu dekat, dan Papa nggak berusaha menjembatani itu semua. Papa dan Mama minta maaf, karena selalu pilih kasih sama kamu, lebih sayang Dikta daripada kamu, padahal kamu selalu berusaha jadi anak yang baik untuk Papa dan Mama. Papa menyesal, karena udah menyia-nyiakan anak sebaik kamu," mendengarkan penyesalan Marvino, semua orang yang ada di dalam ruangan merasakan momen yang emosional, sehingga tidak dapat menahan air mata mereka. "Semalaman, Mama membujuk dan memberikan pengertian ke Papa, menyadarkan Papa, kalau apa yang Papa lakukan selama ini, salah. Papa dan Mama nggak menjadi orangtua yang baik untuk kamu, dan akhirnya Tuhan tegur kami melalui kecelakaan Dikta ini... Mengingatkan kami, betapa berharganya anak-anak yang Tuhan titipkan kepada kami," ia mengusap air matanya. "Katara, Saga, terima kasih, karena kalian udah memberikan Papa dan Mama, pelajaran yang nggak akan kami lupakan. Saga, terima kasih, karena kamu udah menolong Dikta. Dan, selamat ulang tahun, ya. Terima kasih, karena kamu udah selalu menjaga dan membela Katara. Papa benar-benar bersyukur, di saat Katara memiliki orangtua yang jahat, seperti kami, dia punya suami yang mengasihi dia luar biasa," ia menggenggam tangan Dilara. "Walaupun dihabiskan di rumah sakit, ulang tahun Saga hari ini harus jadi bermakna. Dengan tulus, kami berdua meminta maaf kepada Pak Tegar, Bu Wasti, Saga, dan Katara, serta berniat untuk memperbaiki semuanya, memohon kesempatan kedua, untuk bisa menjadi keluarga yang lebih baik lagi. Kami menyesal, Ra, jadi izinkan kami memperbaiki, menjadi orangtua yang baik untuk kalian, memulai semuanya dari awal."

LANGITKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang