19. Serangan Tak Terduga

97 25 1
                                    

Bogor, Februari 2029

Mobil Dikta lebih dulu meninggalkan rumah menuju kampus, disusul oleh mobil Saga yang melaju menuju kantor Katara, sebelum menuju kantornya sendiri.

"Lo ngapain cium gue?" tanya Katara tanpa basa-basi.

"Lo nggak lihat muka Dikta tadi, sih," sahut Saga, sembari menyetir. "Habis lo cium tangan gue, dia kayak nunggu gue balas cium lo," ia menoleh sekilas. "Sorry."

"Terus, lo ngapain jadinya ngantarin gue?" tanya Katara, sekali lagi.

"Karena, lo lagi nggak enak badan," jawab Saga, apa adanya.

Katara tidak menyahut lagi. Sejujurnya, ia berusaha untuk tidak terlihat salah tingkah. Selama beberapa detik, ujung bibirnya naik sedikit, tanpa Saga menyadarinya.

"Kabarin gue, kalau lo udah mau balik," ujar Saga, ketika mobilnya sudah menepi di depan kantor Katara. "Atau, kalau lo ngerasa lemas, pengin balik," tambahnya.

Katara mengangguk, kemudian membuka pintu mobil. "Thanks, ya. Lo hati-hati. Kabarin gue, kalau lo udah sampai kantor," ia turun dari mobil, dan menutup pintunya.

Saga melambaikan tangannya, kemudian melajukan mobilnya kembali ke jalan.

Katara meletakkan tasnya, kemudian duduk di belakang meja kerjanya, siap untuk memulai pekerjaan. Namun, ada sesuatu yang mengganjal, dan membuatnya merasa ada yang tidak beres. Ia tidak tau apa, dan akhirnya memilih untuk mengabaikannya. Dua jam kemudian, sekali lagi terbukti, bahwa perasaan tidak enak yang ia rasakan, ternyata benar. Panggilan masuk dari Iren terpampang di layar handphone-nya.

"Halo, Ren?" jawab Katara, menerima telepon Iren.

"Halo, Ra?" suara Iren terdengar. "Ra, lo dengarin gue baik-baik," ujarnya, seolah tak punya banyak waktu. "Bokap Ezra udah tau, kalau gue resign. Dia udah kasih tau ke Bokap lo juga, dan gue nggak dengar apa-apa lagi, selain kalau Bokap lo bakalan ngadain konferensi pers mendadak, siang ini."

Jantung Katara mencelos. "Maksud lo? Lo bilang apa ke Bokapnya Ezra?"

"Intinya, dia curiga, dan akhirnya gue ngaku, kalau gue udah berhenti kerja sama lo, karena lo udah tau semua tentang misi rahasia gue. Gue juga bilang, kalau kita udah nggak sahabatan lagi... Demi keamanan kita berdua. Pokoknya, mulai sekarang, orang-orang harus taunya, kita musuhan, Ra. Tapi, gue tetap bakal bantu lo, sebisa gue."

"Oke, thanks. Konferensi persnya tentang apa?"

"Gue nggak tau. Tapi, kalau sekarang lo lagi di kantor, menurut gue, sebaiknya lo pulang. Karena, kita nggak tau, apa yang bakal Bokap lo bilang."

Katara menyudahi sambungan teleponnya dengan Iren, kemudian menyalakan televisi di ruang kerjanya. Matanya terbelalak, melihat konferensi pers yang diadakan Ayahnya, secara mendadak, akan segera dimulai. Ia merasa seluruh tubuhnya lemas.

"Selamat siang, rekan-rekan media, semuanya," suara berat Marvino terdengar. Katara memperhatikan Dilara, yang berdiri di samping Marvino, raut wajahnya terlihat tidak tenang. "Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk hadir. Pada konferensi pers saat ini, saya akan mengumumkan pewaris, atau penerus, yang akan menggantikan saya untuk memimpin Arlandi Group," suara-suara terkejut dari para awak media, terdengar mengiringi suara Marvino. Sementara, Katara membeku. "Untuk mempersingkat waktu, saya langsung umumkan dan tetapkan menantu saya, Sagara Langit Whirada, sebagai penerus saya. Informasi lainnya akan diumumkan menyusul. Sekian dan terima kasih," Katara bahkan, tidak punya waktu untuk terkejut. Ia segera mencari kontak Dikta, dan meneleponnya. "Dik, pulang sekarang," perintahnya, tegas. "Pulang ke rumah gue, nanti gue jelasin di rumah," tambahnya. "Lo mau diserbu wartawan? Jalan ke mobil sekarang!"

LANGITKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang