23. Selamat Ulang Tahun

89 24 0
                                    

Bogor, April 2029

Dilara menghampiri Saga dan Katara. "Makasih banyak, ya, Saga, kamu udah mau donorin darah buat Dikta. Mama benar-benar nggak tau lagi, kalau nggak ada kalian.."

"Sama-sama, Ma," sahut Saga, menenangkan Dilara. "Saya ngelakuin ini untuk Dikta, dan juga untuk gantiin Katara, yang ternyata nggak bisa donorin darahnya."

Katara menoleh ke Saga, dengan tatapan menyesal. "Makasih, ya, Ga. Untung ada kamu. Untung golongan darah kita, sama. Untung kamu memenuhi syarat buat donor."

Saga hanya mengangguk, sembari tersenyum, mengelus kepala Katara.

"Aku minta maaf, Ma, ternyata aku nggak bisa donorin darah aku," sesal Katara.

"Mama yang minta maaf, karena udah minta kalian datang ke sini, padahal kamu lagi kurang sehat," Dilara mendekat, kemudian menyentuh pipi Katara. "Mama juga minta maaf, karena udah nampar kamu waktu itu. Mama salah. Maafin Mama, ya, Ra," ia tampak sangat menyesal. "Maafin Papa juga, yang masih bersikap kayak gitu ke kalian, bahkan setelah kalian bantu selamatin nyawa anaknya. Mama minta maaf. Mama tau, Mama dan Papa salah, selama ini. Mama janji, mulai sekarang, Mama akan berusaha jadi Mama yang baik untuk kalian. Doain Mama yang pengin bujuk dan menyadarkan Papa, kalau semua yang dia lakukan selama ini, salah. Doain kami, ya.. Doain Dikta juga.."

Katara memeluk Dilara. "Aku dan Saga pasti maafin Mama. Makasih, ya, Ma, karena Mama udah mau minta maaf, ngakuin kesalahan Mama. Makasih juga, karena Mama udah ngabarin kita tentang Dikta, jadi kita tau kabar ini bukan dari internet."

"Makasih, ya, Sayang," Dilara mengelus punggung Katara. "Ya, udah, 'kan, kamu lagi kurang sehat, jadi kalian pulang aja, ya. Udah malam, istirahat di rumah."

"Terus, Papa sama Mama?" tanya Saga.

"Papa-Mama bakal gantian jagain Dikta di sini," sahut Dilara. "Kalian nggak usah khawatir. Sekali lagi, Mama berterima kasih, ya, Ga. Nggak akan pernah Mama lupain."

"Sama-sama, Ma," jawab Saga. "Kalau gitu, saya sama Katara pamit, ya, Ma," Saga mencium tangan Dilara. "Kita berdua bakalan doain Dikta, juga Papa dan Mama."

Katara juga mencium tangan Dilara. "Salam buat Dikta dan Papa, ya, Ma."

"Makasih, Sayang," Dilara mencium kepala Katara. "Hati-hati kalian, pulangnya."

Hari semakin malam. Saga dan Katara beranjak meninggalkan Dilara, menuju parkiran rumah sakit. Keduanya masuk ke dalam mobil, kemudian melesat pulang.

"Kamu, kalau udah ngantuk, tidur aja," suara Saga memecah kesunyian di antara mereka. Ia membelai lembut kepala Katara, dan menoleh sekilas. "Hm? Belum ngantuk?"

"Belum," sahut Katara, lesu. "Aku masih kebayang kondisi Dikta tadi," ia menoleh ke Saga. "Tapi, aku benar-benar bersyukur, ternyata suami aku golongan darahnya B."

Saga tersenyum. "Sampai rumah, kamu mandi duluan, terus langsung tidur, ya."

"Eh, iya!" Katara menepuk dahinya. "Ah, padahal aku pengin mampir beliin kamu kue ulang tahun," sesalnya. "Udah jam segini, pasti toko kue udah pada tutup semua."

Saga tertawa kecil. "Udahlah, 'kan, ulang tahun aku besok."

"Tapi, 'kan, maunya aku surprise-in, pas tengah malam," sungut Katara.

"Ya, udah, 'kan, bisa besok kamu beliin aku kue ulang tahun," hibur Saga.

"Ya, udah, deh. Gagal total rencana lo, Ra," rutuk Katara pada dirinya sendiri.

Saga hanya tertawa melihat tingkah Katara yang menggemaskan.

Mobil Saga dan Katara tiba di rumah. Saga memarkirkan mobil, sementara Katara menutup pintu garasi. Keduanya kemudian naik ke lantai atas, dan Katara langsung menuju kamar mandi, mematuhi perintah suaminya, untuk segera mandi, lalu tidur. Tetapi, ketika Katara sudah berada di atas tempat tidur, ia belum bisa langsung tidur. Saga, yang sudah hampir terlelap, menangkap seberkas cahaya dari handphone milik Katara, di sampingnya. Ia menoleh, dan mendapati Katara masih sibuk mengetuk layar.

LANGITKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang