13. Makan Malam Perjodohan

128 34 14
                                    

Bogor, November 2028

Saga memarkirkan mobilnya dengan rapih di depan rumah Keluarga Arlandi. "Oke, udah sampai," ia kemudian menoleh ke Ayah dan Ibunya. "Yah, Bu, makasih, ya, udah mau terima ajakan Papanya Katara buat makan malam di rumah mereka."

"Nggak masalah, Ga," sahut Tegar, sembari menepuk pundak Saga.

"Asal kamu happy," tambah Wasti, membalas ucapan terima kasih Saga.

Mereka bertiga turun dari mobil, berjalan menuju gerbang. Dengan ramah, Katara menyambut dan mempersilakan Saga dan orangtuanya masuk. Di ruang tamu, Marvino, Dilara, dan Dikta tampak sudah menunggu.

Saga memperkenalkan orangtuanya kepada keluarga Katara, dan begitu pula sebaliknya. "Om, Tante, Dikta, perkenalkan, ini Ayah dan Ibu Saga, dan, Yah, Bu, perkenalkan, ini Papa, Mama, dan adiknya Katara, yang sering Ayah-Ibu lihat di TV," perkataan Saga membuat seisi ruangan tertawa, kemudian sesi perkenalan ditutup dengan saling berjabat tangan satu sama lain.

"Ya, udah, yuk, kita langsung ke ruang makan aja," ajak Marvino.

"Mari, Pak, Bu, silakan," ajak Dilara juga. "Kita ngobrolnya di meja makan."

Dua keluarga ini beranjak ke ruang makan. Makanan segera dihidangkan oleh Bi Una, yang dibantu Katara dan Dikta. Ketiganya bolak-balik membawa hidangan dari dapur menuju meja makan. Mereka masing-masing mengambil tempat di meja makan, dan mulai menyantap hidangan yang sudah lengkap dan apik tertata di atas meja. Mereka mengobrol dengan hangat dan penuh canda tawa. Wasti memuji Dilara yang sudah membesarkan anak-anak dengan baik, karena ia memperhatikan, bagaimana Katara dan Dikta begitu sigap menolong Bi Una menghidangkan makanan. Selama beberapa saat, Katara sangat menikmati momen ini. Momen yang sudah lama tidak ia rasakan. Walaupun ia tau, orangtuanya hanya berpura-pura terlihat menyayanginya, tetapi kedekatan keluarganya dan keluarga Saga begitu menghangatkan suasana hatinya. Hanya saja, ia merasa sayang, bukan Kirana yang ada di sini.

"Menyenangkan sekali membesarkan anak perempuan," telinga Katara menangkap kalimat Dilara, yang membuat hatinya tiba-tiba merasa tidak enak. Ia dan Saga saling melirik satu sama lain, kemudian keduanya melirik Tegar dan Wasti.

Wasti memperbaiki raut wajahnya, dan tersenyum. "Saya setuju. Kami berdua juga menikmati masa-masa membesarkan anak perempuan kami."

Setengah tersenyum, air muka Dilara dan Marvino terlihat sedikit bingung, menatap Wasti dan Tegar, seolah meminta perkataan Wasti dilanjutkan.

Tawa kecil Tegar terdengar agak pahit. "Kami pernah punya anak perempuan. Mungkin, cuma orang-orang terdekat kami saja yang tau."

"Kami mohon maaf, karena tidak tau," sahut Marvino, bersimpati.

"Mohon maaf sekali, Pak, Bu, tapi apa yang–"

Katara berdehem, memotong pertanyaan Dilara. "Mama.."

"Maaf," ujar Dilara, menyesal. "Saya mohon maaf."

"Nggak apa-apa, Pak, Bu," sahut Tegar, ramah. "Kami nggak keberatan bercerita tentang adiknya Saga. Malah kami senang, tiap ngomongin sambil ngingat dia."

Wasti melebarkan senyum. "Namanya sama dengan Katara."

Marvino menaikkan kedua alisnya, tampak terkejut. "Oh, ya?"

"Namanya Katara?" tambah Dilara.

Wasti tertawa kecil. "Qatara-nya pakai Q, karena waktu saya hamil...," Wasti menepuk pelan lengan Tegar. "Bapaknya ngidam pengin ke Qatar."

Katara lega, suasana kembali adem, karena tawa Wasti dan Tegar mengundang tawa semua yang duduk mengitari meja makan.

"Oh, ya?" Marvino tampak menikmati obrolan. "Terus, udah kesampaian?"

LANGITKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang