15. Pengantin Baru

118 28 8
                                    

Bogor, Desember 2028

Katara melangkah di ubin hotel yang dingin dengan bertelanjang kaki. Kedua tangannya sibuk mengangkat bagian depan gaunnya, untuk memudahkannya berjalan. Sementara, ujung gaun di belakangnya dibiarkan menyapu lantai. Di sampingnya, Saga berjalan, sembari memastikan gaun Katara tidak mengganggunya. Tangan kiri Saga sibuk menenteng sepasang sepatu heels berwarna putih, sementara tangan kanannya menggenggam sebuah handphone dan dompet kecil. Semuanya milik Katara.

"Pelan-pelan, awas kesandung," ujar Saga, masih terus mengawasi Katara.

"Kalian udah mau pulang?" tanya Dilara, yang muncul dari arah berlawanan. "Katara, ah! Kok kayak gitu, sih, nggak dipakai sepatunya?" omelnya, kemudian.

"Sakit, Ma," sungut Katara. "Lagian, 'kan, udah pada pulang semua tamunya."

"Kakinya lecet, Ma," tambah Saga. "Tuh," ujarnya, sambil menunjuk tumit Katara.

"Tapi, 'kan, lantainya dingin, Sayang," sahut Dilara. "Ya, udah, kalau gitu, cepat, deh, sana kalian jalan ke mobil. Mama masih mau ke toilet dulu, sebentar."

"Terus, Papa di mana?" tanya Katara.

"Papa, Ayah, Ibu, Dikta udah jalan duluan ke lobby. Udah sana, kalian pamit."

"Oke, kalau gitu, kita pamit, ya, Ma," Saga mencium tangan Dilara. "Makasih banyak buat semua bantuan Mama untuk nikahan kita. Selamat istirahat, nanti."

Katara meraih tangan Dilara dan menciumnya juga. "Pulang duluan, ya, Ma."

"Iya, sama-sama, Sayang. Kalian hati-hati, ya," jawab Dilara, sebelum pergi.

Katara dan Saga tiba di lobby, kemudian langsung berpamitan dengan Marvino, Tegar, Wasti, dan Dikta. Wasti memperhatikan Katara yang bertelanjang kaki.

"Kaki Katara lecet, Bu," ujar Saga, yang seolah bisa membaca pikiran Wasti.

"Pantas," sahut Wasti. "Kalau kayak gitu, seharusnya kamu gendong, Ga.."

"Eh, nggak apa-apa, nggak usah, Bu!" tolak Katara, cepat-cepat. "Aman, kok!"

Wasti, Tegar, Marvino, dan Dikta tertawa melihat reaksi Katara.

"Ya, udah, kalian pulang, istirahat," ujar Tegar. "'Kan, cape seharian."

"Sekali lagi, selamat, ya, Kak," ujar Dikta, manis.

"Makasih, ya, Ayah, Ibu, Papa, Mama, Dikta, buat semua bantuannya," balas Saga.

"Hati-hati di jalan, ya," ujar Marvino. "Kabarin, kalau udah sampai di rumah."

Katara dan Saga meninggalkan lobby. Mereka berdua masuk ke dalam mobil, kemudian Saga melajukan mobilnya, keluar dari area hotel, menuju rumah barunya.

"Akhirnya, beres juga," Katara memejamkan matanya yang terasa perih. "Thanks, Ga, udah bantu bawain handphone sama dompet, dan sepatu gue."

Saga tersenyum tipis, sembari menyetir. "Anytime, Ra."

Katara menghela napas. "Masih nggak masuk akal buat gue, jadi istri lo dalam waktu tiga bulan, setelah gue sama lo ketemu lagi," ocehnya, setengah tertidur.

"Kalau udah ngantuk, mending lo tidur, daripada ngomong nggak jelas gitu."

Katara tidak menjawab lagi. Sepertinya, sudah tertidur.

Saga menoleh sekilas, kemudian tersenyum. "Lo tidur di rumah gue, 'kan?"

Hening. Tidak ada jawaban dari Katara.

"Oke!" Saga menjawab pertanyaannya sendiri. "Diam, berarti oke!" Ia mengulurkan tangannya, mengusap lembut kepala Katara. "Selamat istirahat, istriku."

"Nyetir yang benar," sahut Katara tiba-tiba, mengagetkan Saga, yang reflek menarik tangannya dari kepala Katara. "Udah tau jawabannya, pakai nanya lagi."

LANGITKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang