06. 301212?

3.1K 337 14
                                    

Cuma sekedar info, kalau alur cerita ini maju mundur. Untuk tulisan bercetak miring itu digunakan buat alur dimasa lalu / lagi ada di dimensi lain. Tulisan yang pakai gaya huruf yang biasa, buat masa sekarang.

Happy reading!

••

Ceklek...

"Aku harus ke Bandung besok pagi. Ada sosialisasi santunan anak yatim sama bantuin masyarakat buat pembersihan kawasan sampah menumpuk di salah satu pasar sana selama dua Minggu." Ucap Jevano sebagai pembuka malam ini. Suasana hati Naren yang tadinya buruk sekarang menjadi lebih buruk setelah mendengar ujaran suaminya itu. Sepertinya Jevano juga terlihat tidak peduli dengan tingkah merajuknya saat ini.

"Nana ikut yaa papa???!!"

"Jeje juga mauuuu!!"

"Nara sama Jeje antar Papi ke kamar Grandpa sama Bubu yuk. Papi harus siapin baju Papa, mondar-mandir sana sini, nanti kamu ke sundul kalo ga di pindahin dulu." Biarkan mertuanya itu yang menjelaskan kepada kedua anaknya, Naren terlampau kesal sekarang, ingin cepat-cepat memarahi Jevano.

Setelah selesai mengantar anak kembarnya, Naren mengunci pintu kamar agar kesalnya lebih leluasa tanpa ada yang mengganggu. Tidak tahu saja Naren menahan rasa sesak karena ingin ditinggal selama dua minggu.

"File yang lo bahas sama Winda tadi itu apa?"

Jevano yang sedang menyiapkan baju-bajunya untuk dibawa besok pagi pun tiba-tiba menjadi diam tak bergerak. "Ga penting."

"Oh gitu, saking ga pentingnya, gue ga boleh tau gitu?"

"Harus banget masalah kecil gini dibahas? Udah gue bilang ga penting." Naren tahu Jevano menahan emosi karena pertanyaannya. Bahkan ia juga tahu, jika pertanyaannya ia lontarkan sekali lagi bisa-bisa suaminya itu menampar pipinya saat ini juga.

"Pergi bareng Winda?"

"Guntur."

"Nikah aja sono lu sama Guntur!" Sentak Naren, lalu merebahkan tubuhnya pada kasur empuk dan menyembunyikan wajah kesalnya pada bantal. Jevano hanya bisa membuang nafasnya pasrah, sekarang ia harus berjuang membujuk Naren mati-matian.

Ia pun menghampiri Naren, memposisikan tubuhnya di samping dan mulai mengelus kepala Naren. Karena masih kesal, tangan Jevano pun ditepis kasar. Kehidupannya yang sekarang dihantui oleh Guntur, Guntur, dan Guntur.

Naren muak!

"Gue suami lo! Tapi yang lo prioritasin cuma ucapan Guntur!"

"Tadi topik pembahasan kita ga nyampe ke Guntur. Kenapa lo jadi permasalahin soal gue berangkat ke Bandung sama Guntur?"

"Sumpah, Jev, gue sama sekali ga suka lo bergaul sama Guntur."

"Karena lo punya trauma gue pernah bully lo waktu SMP, right?"

"Yeah, that's my problem. Gue takut lo ngelakuin hal negatif lagi. GUNTUR GA SEBAIK YANG LO KIRA, JEVAN!"

"KENAPA?! KENAPA LO BISA NYANGKA GITU PADAHAL GUNTUR SELALU NOLONGIN LO WAKTU GUE NGEBULLY LO HABIS-HABISAN WAKTU ITU?"

Naren yang sudah niat untuk memberikan Jevano sebuah pencerahan dengan posisi duduk pun merasa menyesal. Keduanya sedang merasa berapi-api saat ini, mau tidak mau Naren harus mengalah. Jika tidak, masalah ini bisa berlanjut entah sampai kapan.

"Kenapa ga jawab pertanyaan gue, Naren? Gue juga butuh soal informasi lo. Lo bilang lo itu suami gue kan? Kenapa gue ga boleh tau soal sesuatu yang mengganjal di hati suami gue sendiri? Kalo lo ga ngasih tau, gue ga bakal pernah tau soal lo sama sekali..."

Asmaraloka || NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang