15. Nostalgia

2.5K 292 21
                                    

Rasa hangat disela-sela dinginnya malam menyertai dua orang remaja yang baru saja menginjak dewasa dengan menyandang status sebagai orang tua baru-baru ini. Jevano yang memakai piyama senada dengan Naren naik ke atas kasur luas yang sudah terisi dua anak kembarnya yang baru saja lahir ke dunia; menemani Naren yang sedang sibuk bermain game pada benda pipih yang ia genggam.

Tak terasa ia sudah hidup dengan Naren dan melalui lika-liku bersama selama 11 bulan. Pernikahan seumur jagung yang didasari oleh kesepakatan kini mulai dibuahi bunga asmara dua belah pihak. Kedua anaknya kini menjadi bukti bagaimana perjuangan Jevano dan Naren melewati masa 9 bulannya dengan susah payah.

Sesekali Naren malu untuk mengakui jika dirinya diejek ibu-ibu komplek karena kesalahan yang ia perbuat. Namun, hal itu ia tepis ketika Jevano datang, mengelus kepalanya dan mulai memberikan kata-kata semangat agar bisa tidak mengambil hati dari perkataan yang tak mengenakan itu.

Jevano mencium pelipis kedua anaknya penuh kasih sayang. Lihatlah hasil kenakalannya ini, dua anak tak berdosa akan menjadi korban kelabilan orang tuanya setiap hari. Jevano hanya berharap didikannya bisa membawa kedua anaknya mencapai kesuksesan di masa depan.

"Yang di puk-puk cuma Jenantara aja, Narapati nggak?" Tanya sang kelinci manis yang rela mengalihkan fokusnya kepada Jevano.

"Bahkan muka anak lo sendiri aja nggak tau. Dari tadi gue puk-puk pantat Nara nih, Jenantara lagi tidur nyenyak banget. Gue jadi nggak tega gangguin dia."

"Lo nggak liat mukanya sama? Gue heran, kenapa ya muka anak bayi yang baru lahir itu sama semua? Anehnya lagi, orang tua kita tuh tau kalo anak kecil itu mirip kita. Padahal kan emang anak bayi mukanya sama semua kan, Jev?" Sahut Naren berbisik.

"Ada perbedaan kecil yang seharusnya lo perhatiin dengan detail. Siapa tau itu penting buat lo di masa depan."

Naren mendekat, meminta jatah yang selalu ia pinta setiap harinya selama 11 bulan terakhir. Ia peluk badan besar itu dari belakang, lalu menyembunyikan wajahnya pada tengkuk Jevano yang berbau maskulin yang memabukkan, wangi itu selalu menjadi favoritnya ketika ia sedang rindu.

"Boleh nggak gue egois? Selama tinggal sama lo hampir satu tahun, gue terbuai sama semua perlakuan lembut lo, kasih sayang lo, peduli lo, semuanya yang lo kasih ke gue. Walau gue tau, lo ngelakuin itu demi anak-anak ini, tapi gue beranggapan lo cuma ngasih perlakuan itu ke gue. Gue cemburu lo deket sama anak-anak terus dan sering cuekin gue."

"Kalo gue bilang, jangan bagi kasih sayang lo sama mereka pasti gue dibilang nggak waras. Gue belum terbiasa sama kehadiran mereka, ya padahal gue yang paling seneng nyambut mereka kemarin sampe bikin acara makan-makan di rumah. Tapi tetep aja Jev, gue mau di prioritasin. Udah gila emang gue!" Lanjutnya.

Satu hembusan nafas lolos dari mulut Jevano. Selama Naren mengoceh tadi, Narapati sudah tertidur lagi menyusul Jenantara menuju mimpi yang entah mimpi apa. Kemudian, si pemilik marga Hartawan itu memutar badan agar bisa melihat wajah suaminya yang tersipu malu.

"Jangan hadap sini, gue malu!"

"Hey, hey denger sini. Kenapa harus malu? Gue terima opini lo dengan senang hati. Maaf ya kalo kesannya gue cuekin lo, gue lagi ngerasa seneng aja deket sama anak kecil, apalagi itu anak gue sendiri. Gue tetep jadiin lo prioritas utama, lo nggak usah takut gitu. Gue juga takut kalo suami gue di gendong orang lain, kalo anak kan bisa di gendong siapa aja."  Jevano mencoba mengelus pipi Naren walau saat ini wajah manis itu sedang tertutup dua tangan tembam.

Asmaraloka || NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang