09. Pelintiran Alur

2.7K 303 17
                                    

Posisi matahari yang sudah muncul tempat di atas kepala membuat tempat wisata saat ini semakin ramai. Energi Naren hampir habis karena kebodohannya yang lupa mengisi baterai handphone kini menjadi bencana besar baginya. Tanpa benda itu, Naren tidak bisa menghubungi Jevano dan berakhir dirinya harus berkeliling ke sana kemari.

Naren dan pria tua itu berpencar, tetapi karena kondisi cuaca yang sedang panas terik begini Naren membutuhkan istirahat sejenak. Ia duduk pada sebuah kursi panjang bercat putih seraya bergumam pasrah meminta pada Tuhan untuk mengembalikan anaknya. Kedua telapak tangannya mengusap wajahnya yang lelah.

Laki-laki itu menangis.

Mata sembab dengan punggung yang duduk membungkuk melirik ke arah samping untuk melihat siapa orang yang sudah menyodorkan sebuah sapu tangan secara tiba-tiba.

"Butuh gue peluk sekalian nggak?" Tanpa kesadarannya, Naren mengambil sapu tangan itu secara paksa dan membuangnya ke sembarang arah.

"LO PASTI NGUNTIT GUE KAN?! BALIKIN ADEK GUE BANGSAT! GUE TAU LO YANG CULIK ADEK GUE, BALIKIN GUNTUR!"

Guntur tertawa melihat tingkah semena-mena laki-laki dihadapannya, wajah sembab membuat pemuda itu terlihat lebih manis dari biasanya.

"Ternyata pikiran gue selama ini salah ya? Gue pikir lo itu anak tunggal yang nggak pernah dapet kasih sayang orang tua. Ternyata lo punya adek? I'm shock to hear that"

"NGGAK USAH SOK POLOS GUNTUR! BALIKIN ADEK GUE SEKARANG JUGA!"

"Feedback buat gue kalo gue balikin adek lo apa?" Ujar Guntur dengan seringai tipis diwajahnya.

"Apapun! Please... Gue nggak bisa hidup tanpa anak centil kebanggaan gue, Guntur."

Dahi Naren berkerut saat Guntur menertawakan dirinya remeh. Setelah bertahun-tahun lamanya, Naren kembali memohon pada sosok Guntur Pratama, selepas kasus pelecehannya saat SMP dulu, ia sudah pergi menjauh dari Guntur.

"Di Hotel Harmonis malem ini. Gue tunggu lo di sana. Kalo lo nggak dateng... Jangan salahin gue kalo gue kirim foto adek lo dalam keadaan mati sadis."

"ORANG GILA!"

"That's me! Oh ya, jangan berani-berani lo bawa polisi ke sana. Gue pantau lo 24 jam, Naren. See you, sayang"

Setelah kepergian Guntur Naren merasa orang paling bodoh di dunia. Rencana apalagi yang harus ia bangun agar terhindar dari orang bejat seperti Guntur? Naren lelah.

"Ceroboh! Seenggak bisa itu lo jagain anak?! Yang lo pertaruhkan itu anak gue, Naren! Lo liat Guntur jadi punya celah buat culik Nara gara-gara lo! Gue hubungin nggak bisa dari tadi."

"STOP NYALAHIN GUE! KEPALA GUE PANAS!" sentak Naren tiba-tiba. Kedatangan Jevano membuatnya merasa tambah emosional, bahkan tidak mendapat kata semangat sedikit pun dari pemuda itu.

Jenantara terlihat kebingungan melihat kondisi papinya yang menangis tak tahu harus berbuat apa, serta papanya yang ikut menghela napas berkali-kali. Ia tahu kembarannya itu hilang, namun Jenantara pun tidak tahu caranya bagaimana menenangkan kedua orang tuanya yang memiliki ego tinggi seperti Jevano dan Naren. Mungkin saja Jenantara bisa menenangkan mereka, tetapi orang tuanya tidak pernah mengajarkannya hal itu. Entah Jevano maupun Naren hanya mengajarkan anak-anaknya bertingkah keras dan bersifat egois agar bisa selalu menang dalam setiap keadaan.

Ting!

Ting!

Handphone Jevano berdering karena beberapa notifikasi muncul pada beranda handphonenya. Jenantara pun ia alihkan kepada Naren agar ia bisa membuka pesan-pesan orang tidak dikenal di Instagramnya.

Asmaraloka || NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang