23. Emosi Api

1.9K 162 9
                                    

Terdapat kursi panjang berwarna putih di Taman Komplek perumahan Stevan. Kondisi taman saat ini sedang sepi, hanya ada dua orang laki-laki di sana, dan keduanya kini berbincang tanpa beban sekalipun.

Stevan sedikit tak menyangka, nomor tidak dikenal yang mengirimkan pesan singkat padanya pagi tadi adalah Rama Pratama; orang yang seharusnya kini berada di balik jeruji besi. Beberapa menit perasaannya begitu gelisah, ia meninggalkan Jenantara dan Narapati pada pembantunya di rumah.

"Gimana? Sepakat?"

Pikirannya berkecamuk tak tentu. Rama benar-benar menyudutkannya dengan berbagai kesepakatan aneh yang sudah pernah ia tolak. Benda pipih yang ia genggam kini ia operasikan untuk melaporkan hal ini pada Jevano atau Naren secara diam-diam.

Namun, beberapa detik setelahnya Rama mengambil ponsel itu tanpa meliriknya sedikitpun. Cucuran keringat mulai membasahi pelipisnya.

"Ck ck ck! Berapa tahun kamu kerja dibawah naungan saya dan Guntur, Stevan? Lupa sama peraturan yang udah pernah saya bilang secara lantang di depan muka kamu? Apa saya harus teriakin peraturan itu lagi?"

"Peraturannya udah nggak berlaku, om Rama. Saya udah ga kerja dibawah naungan anda lagi! Stop usik hidup saya, saya capek!"

Rama berdecih mendengar tuturan kata Stevan. Tingkah lakunya sok berani seperti anak ingusan yang baru saja belajar bicara, pikir Rama.

"Stevan, dengerin saya! Kita bakal dapet keuntungan, kamu kasih saya Jenantara, dan saya bakal kasih kamu mansion megah." Pria yang lebih tua itu mendekat pada telinga Stevan, karena reflek Stevan pun menjauh sedikit. "Kalo kamu jadi anak baik, nurut sama perkataan saya dan rencana yang saya bangun berhasil, saya bakal bebasin kamu dari jeratan saya, cantik..."

"HUH!" dorongan kuat dilakukan Stevan demi menjauhi tubuh Rama yang semakin lama mendekati area-area intimnya. "SAYA UDAH BILANG KALO SAYA MAU DI LEPAS! SAYA GA BAKAL TINGGAL DIAM LAGI SEKARANG, ORANG-ORANG PEDOFIL KAYAK ANDA ITU PERLU HUKUMAN YANG SETIMPAL! Ingat ini Rama Pratama, hukuman bagi para pedofil itu ga setara sama pengorbanan korban yang menghabiskan waktunya buat MENYUSUN MENTAL YANG UDAH KALIAN RUSAK!"

"Saya udah mulai terima sama perlakuan anda dan anak anda soal pemerkosaan yang kalian perbuat. Jangan jadikan Jenantara, Narapati, atau anak-anak dibawah umur kalian jadikan sebagai alat pemuas nafsu bejat anda itu!"

"Fine!  Kamu kayak gini karena sekarang kamu punya orang-orang yang dukung kamu. Tapi yang namanya nafsu duniawi, siapa yang bisa tahan? Ayolah, sayang... Jangan munafik, kamu juga nikmatin servis om, kan? Di gilir dua orang sampe kamu nangis - nangis minta berhenti, tapi kamu malah squirt  ditangan om."

"Jangan pikir, karena kamu punya antek, saya takut sama kamu! Kamu lupa kenapa istri saya bisa mati? Ga bisa ya sekali aja kamu nurut kayak Ica?"

Seumur hidupnya, Stevan menyesal harus bertemu Guntur, sehingga ia pun terjebak di lingkaran Rama juga. Ia masih belum menemui orang yang berani melawan Rama, bahkan ia pun ragu pada Yudha yang berjanji akan membawa Rama ke dalam penjara.

Carina dan Stevan itu bernasib sama, hanya saja cara perlakuannya saja yang beda. Namun, ada rasa iri pada hati Stevan karena melihat Carina yang masih bisa mengontrol Guntur, bukan seperti dirinya yang hanya dijadikan lacur setiap saat.

"Pikirin lagi tawaran pertama saya, Stevan. Kamu bebas, tapi kasih saya Jenantara atau Naren ke markas saya."



"Haduh, dek Nara jangan lari-lari!" Ujar si asisten rumah tangga Stevan yang kini bertugas menemani Jenantara dan Narapati bermain. Kewalahan rasanya, Narapati begitu aktif berlari ke sana dan kemari, bahkan hampir saja jatuh terkena akuarium.

Wanita paruh baya itu ditugaskan untuk menemani Jenantara dan Narapati bermain, namun saat ini yang terlihat sedang bermain hanya Narapati saja. Entah mengapa Jenantara hanya duduk bersila seraya mengerutkan bibirnya dan alisnya menukik seperti sedang marah.

Asisten rumah tangga tersebut pun akhirnya menghampiri si kecil yang duduk di lantai melihat mereka bermain. Ia usap punggung Jenantara dengan lembut lalu menanyakan alasannya tak ikut bermain bersama Narapati.

Alasannya pun selalu sama, Jenantara bosan. Ketika wanita itu sedang fokus untuk menghibur Jenantara agar tidak bosan, suatu insiden terjadi menimpa Narapati. Anak itu terjatuh dari mainan balok besar yang ukurannya lebih besar dari tinggi tubuh badannya, alhasil anak itu menangis kencang.

"HIKS PAPA! SAKIT... HUWAA!"

"Kan! Bibi tuh udah omong cah ayu, nanti jatuh." Mau tak mau wanita itu harus menghampiri Narapati lagi dan meninggalkan Jenantara sendiri. Jenantara hanya ingin diperhatikan.

Karena kesal, Jenantara memilih untuk mencari bahan main di luar rumah.

"Psst... Psstt! Anak baik!" Panggil perempuan berambut pirang dengan kostum spiderman yang ia kenakan. Jenantara tertarik dengan panggilan itu, sekaligus melihat kostum unik yang perempuan itu pakai.

Ica yang mengenakan kostum itu pun merasa bangga karena bisa menarik perhatian Jenantara. Dengan lihai Ica menggendong tubuh ringan Jenantara yang begitu ringan. Anak itu masih dengan pandangan kagum melihat betapa kerennya Ica dengan penampilannya sekarang.

"Tralala tralili, kenalin aku spiderwoman. Aku tau nama kamu, pasti nama kamu Jenantara. Betul apa betul, sayang?" Jenantara mengangguk antusias dengan penuh semangat. Ia senang, perasaan bosannya hilang.

"Spiderwoman ini selalu datang ketika ada orang yang lagi sedih. Jenantara lagi sedih ya?"

"Hung, iya! Aku juga mau bibi main sama aku, tapi bibi nggak mau, spiderwoman mau main sama Jeje?"

"Hah?! Kok ada sih yang ga mau main sama kamu? Pasti Papa kamu juga ya? Apa jangan-jangan semua orang nggak suka sama Jenan? Mereka selalu fokus terus sama Nara, mereka ga sayang sama Jenan." Ujar Ica.

"Kok kamu bisa tau spiderwoman?"

"Aku ini bisa liat orang-orang yang lagi sedih dari atas langit. Jenan pasti lagi marah sama papa atau papi sekarang, bener kan?"

"IYA! Papa sama papi itu sebenarnya tidak sayang Jeje. Kalau papa sama papi sayang Jeje, Jeje dan Nara tidak ditinggal terus!" Ujar Jenan.

Gotcha!  Tepat sasaran.

"Jenan, ikutin perintah spiderwoman ya? Spiderwoman mau bantu Jenan, tapi spiderwoman butuh handphone untuk bantu Jenan supaya bisa bikin Jenan disayang lagi sama Papa atau Papi. Jenan mau kan di sayang papa sama papi lagi dan mereka ga pilih kasih lagi sama kalian berdua?"

Setelah Jenantara menyetujui, Ica pun mulai melancarkan aksinya. Ia butuh menghapus data-data bukti yang mungkin akan menjebloskannya ke penjara juga.

"Ambil handphone papa, papi, grandpa, atau grandma kamu. Pokoknya semua handphone yang Keluarga kamu punya. Oke? Besok spiderwoman dateng lagi deh, tapi ke rumah kamu ya."

"Buat apa spiderwoman? Nanti kalau di marahi papa bagaimana? Jeje takut..."

"Spiderwoman mau marahi keluarga kamu yang udah cuekin kamu dong! Jeje ga usah takut okay? Spiderwoman bakal bantu Jenan nanti."

Tanpa pikir panjang Jenantara kembali menyetujui permintaan Ica. Ica berhasil menghasut anak itu dengan mudah, rencananya hampir selesai dan Naren pun akan segera ia berikan kepada Rama.

Samar-samar terdengar suara pembantu Stevan yang mencari keberadaan Jenantara. Mau tidak mau Ica harus menggiring Jenantara untuk masuk dan ia pergi secepatnya.

Sebentar lagi, hanya dalam hitungan hari ia bisa mendapatkan keuntungan besar.

"Balasan buat kalian yang udah bikin gue malu karena video yang kalian sebar. Tinggal tunggu waktunya aja, Jevano. Lo pasti nyesel karena bakal marahin anak lo yang ga bersalah itu" Gumam Ica.

••
TBC

Asmaraloka || NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang