22. Pertanda

2K 209 14
                                    

Jendela yang terbuka cukup lebar memberi izin pada angin untuk masuk ke dalam ruangan penuh debu itu. Pria yang kini sedang duduk di atas lantai tanpa peduli kalau lantainya kotor itu, menatap handphone-nya yang menampilkan sebuah foto familiar yang pernah dikirimkan Guntur padanya.

Sesekali pria itu merutuki kelakuan anaknya yang begitu bodoh karena tidak mencari tahu lebih dalam soal Naren sebelum bertindak lebih jauh. Hal sederhana seperti itu saja Guntur tinggalkan, dan saat itu juga pria tua itu menyetujui kalau Guntur pantas terhadap perlakuan lalainya.

Samar-samar bisa ia dengar suara mesin mobil yang mendekat. Rumah tua minim cahaya sekarang tersorot lampu mobil yang begitu terang, pria itu tidak bodoh kalau ada sebuah mobil yang menerjang hujan lebat hanya untuk mampir ke rumah rahasianya.

Tanpa perizinan sang pemilik rumah, seorang gadis yang menjadi dalang datangnya mobil tersebut pun masuk ke dalam rumah itu dan langsung mencari keberadaan pria yang ia cari.

"Om Rama! Ih dimana sih?!" Gerutu gadis itu.

"Di sini sayang, kenapa selalu nggak inget sama ruangan om?"

Tak lama ketika Rama menyahuti panggilan dari gadis tersebut, pintu ruangan itu pun terbuka. Keduanya saling melempar senyum manis dan tatapan sengit layaknya buaya jantan dan kucing betina, kemudian gadis itupun menghampiri Rama yang sedang terduduk di lantai penuh debu.

"Ih! Anak om itu goblok banget sih! Masa gitu aja ketangkep?!"

"Carina bawa temen-temennya, Ica. Kalo kamu liat kondisinya pun, om yakin kamu juga pasti bakal kabur terus ketangkep. Udah lah sayang, jangan marah lagi. Om akuin Guntur ga pinter atur strategi."

Ica Kristin, orang lama yang kini kembali ikut serta mengusik kehidupan Naren lagi. Yang Jevano lihat waktu itu tidak salah, jika saja pemuda itu tidak menarik tangan Naren untuk pulang, mungkin Ica dan Guntur benar-benar akan menjebak Naren habis-habisan saat itu.

"Tapi om, dari zamannya aku SMA, temen-temen Naren itu licik banget. Ga heran juga sih kalo Guntur ke tangkep." Ujar Ica.

Pria yang berbeda usia sekitar 28 tahun darinya menggenggam tangan Ica dengan lembut. Seperti ada sihir yang menghipnotis gadis itu, Ica tersenyum simpul seraya melihat Rama dengan tatapannya yang menggoda. Ini pekerjaannya, ia akan mendapatkan banyak keuntungan jika ia melakukan itu.

Rama mengambil ponsel yang masih menampilkan foto yang sama sedari tadi. "Kamu percaya dia adeknya Naren?"

Ica menatap foto itu tak percaya, mirip sekali dengan Naren. Andika yang ia ketahui adik Naren pun tak memiliki wajah semirip ini dengan Naren. Setelahnya ia mengangguk, "Ya! Anak ini mirip banget sama Naren. Apa yang mau diraguin lagi om? Udah jelas itu adeknya Naren, kan?"

"Tolol! Kamu sama tololnya kayak Guntur, Ica! Naren sama Jevano nikah karena Naren hamil! Narapati sama Jenantara itu nama anaknya, kenapa informasi sepenting ini kalian nggak tau?! Rumah tangga Jevano sama Naren sempet renggang, ini kesempatan kita buat ancam mereka balik biar Guntur bisa bebas. Naren juga bisa om cicip SECEPATNYA!"

Gadis itu sempat merenung, seperti ada yang ia lewatkan saat masa SMA dulu. Entah ia yang tidak tahu atau ia lupa kalau ia pernah mengetahui fakta itu, Ica sangat terkejut sekarang.

Ah! Seketika Ica ingat kejadian dimana ia juga menyimpan banyak bukti tentang pernikahan Jevano dan Naren yang pernah ia jadikan bahan ancaman untuk Jevano agar pemuda itu mau menuruti kemauannya.

"Om, serius aku lupa kalo Naren sama Jevano itu udah nikah. Kalo gini caranya kan kita jadi gampang buat dapetin Naren, kan? Om tenang aja, aku bakal babat abis semua masalah ini. Aku kasih Naren ke om secepetnya, om jangan marah-marah gitu dong ih!"

"Huft! Jangan sampe ceroboh, Ica. Narendra itu anak emas. Om aja harus rebutan dulu sama Guntur karena Yudha sama Jeffrey ga bakal pernah biarin Naren lecet sedikit pun. Kalo soal Jevano, om masih bisa atasi pemuda ingusan itu."

Ica mengangguk lagi, kemudian mengangkat tangannya membentuk sikap hormat. "Siap, pak bos!"



Keesokan paginya, Jevano harus izin tidak mengikuti kegiatan perkuliahannya untuk membantu sang mertua mengusut kasus Guntur. Sebelum ia pergi, Naren menghentikan langkahnya di belakang pintu, ternyata pemuda itu malah tersenyum manis melihatnya.

"Sebentar lagi, Naren. Jangan bikin ulah lagi, hidup kita tenang abis ini, sayang."

Yang lebih muda beberapa bulan darinya pun mulai memeluk tubuh Jevano dengan erat. Sudah cukup Naren bersikap bak pahlawan, kalau pada akhirnya ia harus terjebak dengan dendamnya sendiri. Banyak hikmah yang ia ambil dari pengalamannya selama ini, bahwa perasaan dendam hanya membawanya pada titik kehancuran. Naren sadar, kelakuannya sudah merugikan banyak orang.

"Maaf... Maaf kalo aku harus nyusahin kamu sama keluarga kamu, Jevano. Pikiran aku masih labil, emosi aku ga pernah terkontrol, aku cuma fokus sama dendam aku aja. Aku jarang banget mikirin hal-hal yang terjadi kedepannya." Ucap Naren.

Jevano hanya membalas pelukan Naren, mengusap surai sang suami, lalu mengecupnya cukup lama. Harus berapa kali Jevano mengungkapkan kata 'sayang' yang tidak terhingga jumlahnya? Walau Naren melakukan hal yang tidak ia suka, namun itulah yang membuat sosok Narendra itu unik. Dan Jevano menyukai laki-laki itu dengan tulus.

"Aku bukan pahlawan, aku sama kayak kamu, cowok labil yang masih perlu banyak belajar. Banyak perkataan dan perbuatan aku yang bikin keadaan juga hancur. Aku minta maaf juga ya belum bisa jadi yang terbaik buat kamu? Aku ga jauh beda dari pengecut, sayang. Tapi aku bakal selalu berusaha lindungi kamu, Jenan, sama Nara."

Posisi mereka yang masih berada di kediaman Maheswara membuat kegiatan mereka kali ini harus di lihat oleh Winata dan Yudha yang habis berpamitan juga. Mereka tertawa kecil, senang melihat anak-anaknya bisa menjalin komitmen sekarang. Mulai saling mengerti, melengkapi, dan sama-sama belajar akan kesalahan mereka.

Senyum lebar Yudha keluarkan dan menghampiri Jevano setelahnya. Satu tangan Yudha mendarat pada bahu Jevano, sehingga mereka sadar kalau mereka berdua menjadi pusat perhatian mertuanya.

"Saya juga minta maaf, Jevano. Kelakuan saya kekanakan untuk ambil sebuah kesimpulan. Pipi kamu harus jadi bahan renyah buat saya pukul karena emosi yang ga bisa saya bendung untuk kedua kalinya. Terima kasih masih mau bertanggung jawab buat menjaga anak saya yang satu ini. Dari awal kan saya udah bilang, Naren memang perlu perlakuan khusus, karena Naren anak yang keras kepala. Tapi saya nggak nyangka ternyata sifat keras kepala yang Naren punya itu nurun dari sifat saya." Ujar Yudha.

"Tolong kalo punya masalah jangan dipendam sendiri ya? Disini Daddy Yudha, Papi, Bubu, sama Daddy Jeffrey siap bantu kalian tanpa ngerasa direpotin." Naren maupun Jevano pun mengangguk mendengar ucapan Winata yang begitu menenangkan hatinya.

"Oh iya, nanti rumah kan bakal kosong, Jenan sama Nara mau dititip ke siapa? Kan pada sibuk semua. Mau titip ke Yoga juga jauh banget."

"Stevan, Jev. Gue udah hubungin dia buat minta tolong jagain anak-anak."

Hatinya pun tenang mendengar jawaban dari Naren. Kedua kepala keluarga itu pun akhirnya berangkat ke tempat yang mereka tuju, yaitu markas rahasia yang berisi anggota organisasi pemberantas tindakan kriminal.

••
TBC

Can u say hi to Rama? Wkwkwk

Bye bye semuanya, see youuuuu!

Asmaraloka || NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang