12. Sudut Pandang

2.4K 253 25
                                    

Tok...tok...tok...

Pintu besar dengan tinggi menjulang Naren ketuk penuh keraguan. Setelah pertengkarannya dengan Jevano dan berakhir harus meninggalkan kedua anaknya di rumah, Naren kini berdiri di depan pintu rumah yang menjadi tempatnya berlindung selama lima tahun lamanya dengan penuh rasa putus asa. Hatinya terus meracau untuk tak terlihat lemah di depan anggota keluarganya nanti saat pintu itu terbuka.

Tok...tok...tok...

Pintu itu kembali diketuk, meminta seseorang di dalam sana agar membukakan penghalang itu untuknya.

"Pa... Ini Naren!" Seru Naren dengan suara melemas.

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya pintu itu terbuka. Ternyata sang raja yang menyambutnya datang dengan senyum yang sangat cerah. Mungkin sosok itu juga merindukan Naren, karena selama ini kalau Narapati dan Jenantara dititipkan disini, Jevano yang mengantar.

"Wuih, tumben anak rantau daddy dateng. Pas banget papa lagi masak soto ayam. Ayok masuk!"

Naren tersenyum tipis melihat wajah daddynya yang berseri-seri senang jika ia datang. Seketika Naren menyesal karena jarang berkunjung untuk menemui keluarganya ini. Mungkin ini salah satu teguran juga untuknya?

Awalnya perasaan Naren pun sudah mulai sedikit tenang, namun saat sosok yang dihadapannya ini melontarkan sebuah pertanyaan yang sangat sulit ia jawab, sesak di dadanya mulai muncul lagi.

"Jevano, Nara, sama Jenan mana? Daddy kangen sama cucu-cucu daddy. Terus ini kenapa pipi kamu merah? Kamu sakit?" Tanya Yudha seraya menaruh punggung tangannya pada dahi sang anak dan berhenti mengelus pipi merah Naren dengan lembut.

Dahinya tidak panas, namun kenapa pipinya hangat dan terlihat seperti lebam? Kira-kira seperti itu isi hati Yudha ketika melihat bulatan merah yang menjalar hingga telinga anak ketiganya. Isi hati yang penuh kekhawatiran kepada Naren dan menunjukan kepeduliannya.

Sial, Naren tidak kuat! Alhasil pemuda itu memeluk Yudha dengan erat dan menyembunyikan wajahnya di sana. Ia itu kesal, tetapi tidak bisa ia keluarkan. Sekalinya di keluarkan, pasti banyak orang yang tidak menyukai opini dan sikapnya. Ia pun merasa apapun tindakannya dianggap salah, padahal orang lain hanya tidak tahu apa isi kepalanya.

"Naren... ada masalah? Bilang sama daddy, ada apa, sayang?"

Naren mengerti rasa khawatir Yudha saat ini. Selama 19 tahun ia hidup, Yudha selalu memanggil anak-anaknya dengan panggilan 'sayang' ketika anak-anaknya sedang memiliki masalah, dan sosok itu pula yang akan menyelesaikan segalanya seakan pria itu adalah perisai bagi keluarga Maheswara.

Naren mengangguk, "cuma masalah kecil karena kesalahpahaman aja. Selebihnya, Nana kangen sama daddy dan yang lainnya. Ayok, masuk! Naren kangen soto bikinan papa."

"Naren nggak bakal nangis kalo cuma hadapin masalah kecil. Daddy tau karakter kamu, Naren. Pipi kamu juga sampe merah gini. Kamu nggak abis di tampar sama Jevano, kan?" Tanya Yudha menelisik.

Tiba-tiba sesak di dada Naren semakin menjadi kala ada ratu Maheswara datang menghampirinya. Winata datang masih memakai celemek ditubuhnya. Naren semakin nggak kuat kalau begini caranya.

"Jawab, pertanyaan daddy, Naren!"

"Haduh pantesan lama, ternyata Naren yang datang toh. Ini kenapa sih, Yud? Kok anaknya nggak diajak masuk?" Tanya Winata. Tangan Naren di tarik oleh Winata dan dipaksa masuk ke dalam hingga meninggalkan Yudha yang sedang frustasi mengatur ekspresinya.

Sebisa mungkin Naren menyembunyikan kesedihannya agar tidak dicurigai oleh Winata, Yudha, Rendy, dan Andika. Kalian mengharapkan ia menyembunyikan masalah dari Deran? Oh, tidak bisa! Naren tidak cerita pun, sosok itu akan mengetahuinya sendiri.

Asmaraloka || NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang