berani baca?
[DIANGKAT DAN TERINSPIRASI DARI KISAH NYATA]
Dheo, remaja ambisius, memiliki cita-cita menjadi psikolog setelah melihat "semuanya", tetapi dia harus banyak berjuang saat kata "gagal" berulang kali ia dapat dari seleksi masuk universita...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ingat, baca sampai akhir ya :)
Jangan Lupa vote dan Komennya
Italic/tulisan miring panjang = masa lalu
Selamat membaca :) ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤
Semburat jingga di langit perlahan menghilang. Cakrawala kini mewarnai dirinya dengan nuansa hitam nan gelap.
Jarum jam di rumah Dheo menunjuk angka delapan. Di ruangan yang didominasi oleh sofa dan meja, terdapat dua orang remaja. Remaja pertama sedang mengutak-atik Handphone alias menikmati waktu santai, sedangkan satunya tengah menyandarkan pipi kanannya di telapak tangan kanan.
"Jadi, enaknya aku pilih jurusan apa ya di 'SEMAK UHB' ini, Bang Dava? Kasih saran dong."
Tangan Dheo yang menopang pipi kanannya berada di atas meja. Di meja tersebut terdapat selembar kertas penuh coretan. Sesekali lelaki berambut hitam lebat itu men
"Dari data keketatan tahun lalu, kalau aku pilih psikologi, peminatnya banyak banget. Ada enam ribuan. Empat ribu pendaftar 'SBM' yang milih psikologi aja gagal, apalagi ini. Otomatis gagal aku."
Dheo semakin bingung bagaimana memasang strategi. Di saat abangnya bertanya jumlah peminat jurusan yang tidak digemari atau sepi peminat, Dheo mengatakan semua jurusan sangat ketat. Sekalipun jurusan yang tidak digemari atau terkesan simpel. Dheo berkata bahwa jumlah peminat jurusan tersebut berkisar enam sampai delapan ratusan, sementara daya tampung hanyalah puluhan.
Telinga Dheo rasanya gatal sekali begitu mendengar pertanyaan Dava. Ia menatap bingung abangnya sambil menggaruk bagian belakang kepala. Sesekali remaja berbaju lengan panjang itu memusatkan perhatian pada layar gawai. Melalui benda canggih tersebut ia bisa melihat data keketatan tiap jurusan dari seleksi universitas yajg akan diikuti.
"Tenang, aku tetap perjuangin psikologi kok tahun depan. Aku mau 'semi-gapyear. Kuliah tapi mencoba lagi tahun depan. Mama kan gak ngebolehin kita gap-year. Setidaknya aku kuliah dulu," kata Dheo, tetapi masih memandang layar gawainya.
Dava si abang hanya menganggukkan kepala, tanda paham akan perkataan sang adik. Tak mau mengganggu konsentrasi Dheo serta tak tahu harus membantu apa, Dava melanjutkan kegiatannya. Ia asik bermain HP sedari tadi.
Tangan Dava berhenti menggulir layar gawainya kala pekikan kecil Dheo mengganggu. Kepalanya terangkat dan matanya terfokus pada ekspresi senang sang adik.