Sinta, perempuan biasa yang terjebak dalam pernikahan dengan seorang pria berdarah biru dari trah pesantren. Dia yang muak dengan pengabaian sang suami, tidak lagi berniat mempertahankan pernikahan. Maka dari itu, saat waktu yang ditetapkan Gus Asna...
Aku memberikan akhir bahagia untuk setiap kisah yang kutulis. Namun, satu cerita yang tidak bisa kuakhiri dengan bahagia. Itu adalah kisah pernikahanku dengannya. Dia, Gus Malik Asnawi, seorang pria berdarah biru dari trah keluarga pesantren Asnawi Maqdum. Pernikahan kami terjalin dengan dalih perekatan hubungan persahabatan ayahku dan abahnya.
Tak ada cinta, tak ada prosesi pendekatan yang semestinya. Dan tanpa sepengetahuan kedua keluarga, akhir pernikahan buru-buru ini sudah ditetapkan oleh Gus Asna pada malam pernikahan kami berdua. Hari ini adalah hari yang dia ditentukan.
“Sudah genap 2 tahun, Gus. Rasanya baru kemarin kita menikah, tapi waktu bercerai sudah tiba. Jadi, sebelum surat cerai aku terima, aku ingin mendengar kata talak darimu.”
Gus Asna mengedip dan menatapku sejenak sebelum memberikan jawaban.
“Apa hanya itu yang kamu inginkan dariku sebelum kita berpisah?”
Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, menungguku untuk membalas perkataannya.
“Memangnya apa lagi yang bisa kuharapkan, Gus? Jika aku minta jenengan[1]bilang cinta meski tanpa rasa, apa jenengan bakal melakukannya? Aku tidak yakin,” ujarku seraya menundukkan kepala.
Ini memang menyedihkan. Namun, anehnya bibirku mampu untuk menarik senyuman. Ternyata saat membicarakan cinta, sekarang hatiku sudah tidak terlalu terluka. Padahal, dulu jari-jariku pun terasa ngilu karena rasa sakitnya.
Tuk! Tuk! Gus Asna masih melakukan hal yang sama.
Dia termenung seakan sedang menimang apa yang akan dia katakan selanjutnya. Rasanya tidak seperti biasa, padahal aku pikir dia akan langsung mengatakannya dengan tegas dan mengurus perceraian kami secepatnya.
Ah, meski kami lama bersama ... aku tak pernah tahu isi pikirannya, apalagi maksud hatinya. Tidak akan pernah.
“Apa kamu benar-benar tidak menginginkan apapun dariku?”
Akhirnya dia berbicara dengan menegakkan tubuh.
“Bukannya ini gak adil buatmu? Kamu udah banyak berjasa selama ini. Bukan hanya buat pesantren, tapi madrasah bahkan bisnisku juga. Kamu bener-bener mau berpisah tanpa membawa apa-apa?”
Bibirku tertarik ke atas mendengar pertanyaan basa-basinya.
“Lucu ya, orang yang mengatakan aku tidak pantas untuknya karena bukan siapa-siapa sekarang menawarkan harta? Jenengan pikir tenaga dan perasaanku bisa dihargai hanya dengan uang?” balasku menyindirnya.
Aku lalu menatapnya dingin.
“Gus, aku dulu gak punya apa-apa. Jadi, kalau sekarang aku keluar tanpa bawa apa-apa. Itu bukan masalah. Aku cuma berharap bisa secepatnya bebas,” lanjutku kembali bersandar pada kursi.
“Rupanya menikah denganku sudah jadi beban bagimu, ya?”
Aku tidak menjawab. Karena bahkan, jika aku mengatakan tidak, apa dia akan percaya?
“Hhh ... baiklah. Jika itu yang kamu inginkan, kamu akan mendengarku mengatakan kata itu.”
Ucapan Gus Asna sejenak melegakan dada, namun, kalimat lanjutannya mencekik leherku dengan tak terduga.
“Tapi, bukan sekarang.”
Deg! Tanda peringatan langsung muncul di atas kepalaku. Apa maksudnya?
“Beri kesempatan untuk pernikahan kita. Kali ini bukan untuk kebaikan para orang tua, tapi untuk diri kita.”
Jdar! Guntur menggelegar dalam duniaku yang tenang. Untuk beberapa saat aku terkejut dengan apa yang dia katakan. Namun, segera aku menepis pikiran dan meminta penjelasan.
“Aku gak paham apa maksud jenengan. Tapi, jika jenengan begini karena berniat menghabiskan sisa hidup hanya seperti mengulang rutinitas, maaf, Gus ... aku gak sanggup. Meski aku terbiasa tidak dicintai, aku berharap bisa menjalani hidup yang cuma sekali ini tanpa sandiwara dan bahagia.”
“Kebahagiaan ya?” Gus Asna bergumam, tetapi aku bisa mendengarnya.
“Kebahagiaan seperti apa yang kamu inginkan, Sinta?” Dia bertanya.
Pertanyaan yang tiba-tiba itu entah kenapa membuatku tidak bisa berpikir, padahal seharusnya itu bukanlah hal yang sulit.
“Kalau kamu butuh waktu untuk menjawabnya. Pikirkanlah. Dan selama itu juga, berikan aku kesempatan yang sudah aku abaikan.”
Gus Asna beranjak dari kursi. Namun, kalimatnya yang mengganjal di hati tidak bisa aku biarkan.
“Gus, apa jenengan gak pernah dengar ungkapan begini ... buat apa memberi harapan kalau cuma buat dihancurkan?” tanyaku.
Langkah Gus Asna terhenti, meski dia tidak membalikkan badannya, dia menanggapi.
“Aku anggap, perkataanmu sebagai kesempatan.”
Dia lalu pergi meninggalkan aku dan perasaanku yang berantakan.
Jika aku masih gadis muda polos yang memuja cinta, aku pasti jatuh terkapar pada pesonanya. Caranya bersikap saat ini sungguh seolah dialah Rahwana yang berencana menahan Dewi Sinta karena cintanya yang baru saja membara, tetapi aku tidak akan salah paham. Bukankah sejak awal cinta di antara kita tidak pernah ada? Dan aku bukanlah Sintanya ‘Rama’.
Aku bukan cinta dari siapa-siapa.
***
[1] Jenengan: kamu/Anda
. . .
Bersambung~
Author
Bismillah ...
Hati mana yang gak sakit kalau diabaikan suami sendiri? Walau gak cinta, kalau sudah menikah ... Rasa kepemilikan tetap ada.
Jadi, bakal seseru apa cerita ini? Seru banget sih, hehe ...
Penasaran? Cerita ini udah pernah di-upload sampai tamat di wattpad ya, dan sekarang hanya tersedia sampai part 15. Selengkapnya ada di KBM App (nailulelmaghfir).
Untuk ebook (pdf), bisa didapatkan di playstore/playbook atau lebih mudah lewat https://lynk.id/naimaghf
Untuk versi buku, cerita Hati Sinta hanya terbit ebook (pdf) ya. Mohon maaf.
Terima kasih sudah menemukan cerita ini dan menyukainya :)
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.