Part 14 - Baru Seujung Kuku

197 15 0
                                    

Sama dengan pesantren Darul Qur'an milik keluarga Gus Asna, suasana malam di Khoriul Falah ini juga tenang. Hanya terdengar suara santri yang nderes[1], nadhoman[2] maupun bacaan kitab kuning dari asatid[3] di kelas-kelas. Bedanya, di sini aku tidak memiliki tanggungan mengajar. Jadi, aku bisa melihat dan berjalan-jalan di luar sambil memurajaah hafalan dan zikiran.  Sementara itu, Gus Asna menemani Kyai Haidar-bapak mertua Mbak Tsani yang sedang kedatangan tamu. 

Pikirku karena sudah terjebak di luar, aku akan masuk setelah tamu pulang. Namun, saat aku sampai di kebun khusus tamanan herbal, aku bertemu dengan Bu Nyai Marfuah dan Simbah putri yang sedang memetik daun.

“Nah, kan pas diomongke teko. Salim sama Mbah Nyai, Nduk ...”[4]

Arahan dari Simbah putri membuatku meraih tangan Bu Nyai Marfuah. Aku memang belum bertemu dengan beliau sejak datang ke sini. Beliau dan Kyai Haidar baru pulang dari ziarah tadi sore, jadi aku belum sempat menyapa. Bu Nyai Marfuah juga tak terlihat menemui tamu di ruang tengah tadi. 

Ini pertama kalinya kami bertatapan dengan jarak sangat dekat secara langsung.

“Gimana kabar mertuamu, Nduk? Sehat sedoyo toh? Aku ki sudah lama ngangen mau ketemu kamu yang dibangga-banggain sama Bu Nyai Basma. Masya Allah, cantiknya ... suamimu pasti seneng ini dapet istri kayak kamu.”

Pujian Bu Nyai Marfuah membuatku terasa malu sekaligus canggung. Beliau tidak tahu bahwa suamiku baru menerimaku sekarang. Padahal, sebelum-sebelumnya hubungan kami sangat anyep dan ngeresenu.

“Alhamdulillah, Umi sama Abah sehat, Mbah Nyai. Jenengan nggeh cantik, teseh kayak anak muda.”

Bu Nyai Marfuah terkekeh pelan. 

“Ah, kamu ini. Ngomong-ngomong, jarene Simbahmu kamu sama suamimu lagi usaha buat dapet keturunan? Tak buatkan jamu nggeh? Dari daun sihir ini buat kamu, insya Allah manjur. Kamu lihat Mbakmu Tsani udah punya tiga anak sekarang, kan? Diminum yo nanti, gak pahit kok.”

Deg!

Seketika aku menelan ludah, wajahku memanas dan jantungku berdebar. Namun, aku berusaha menutupi semuanya dengan senyuman. Akan aneh bukan kita aku menolak dengan salah tingkah? Yang orang tahu, aku menjalani hubungan harmonis dengan Gus Asna serta memang sedang dalam perjalanan untuk bulan madu. Padahal, yang terjadi sebenarnya … hubungan kami baru membaik. Itu pun perasaan kami masih sebesar ujung kuku, bagaimana bisa melangkah jauh begitu?

“Hm, matur suwun, Mbah Nyai atas tawarannya. Tapi, nopo mboten ngerepotke? Kami di sini cuma sebentar, mampir aja buat nengok keadaan Simbah Putri habis itu melanjutkan perjalanan.”

Aku berusaha beralasan dengan senyum manis yang palsu. Karena nyatanya … jantungku terasa ingin meledak saat ini juga.

“Repot opo tah? Kamu wes tak anggep cucu dewe, Sinta. Ditunggu yo bengi iki, cepet kok gawene. Ayo, Sri …”[5]

Bu Nyai Marfuah mengajak Simbah Putri kembali. Aku menahan lengan Simbah dan menggeleng pelan, tetapi Simbah mengabaikanku. Mereka pun kembali bersama. 

Aku frustrasi di luar sendirian. 

“Ya Gusti, gimana ini?” gumamku. 

Langit di atas yang gelap kini sesekali terlihat berkilat. Hah, alam pun mengerti ini hari yang suram. 

“Ah, kan cuma dibuatin, asal gak usah diminum aja kan beres.”

Begitu keputusanku.

Aku lantas menyusul Simbah masuk ke ndalem. Para tamu sudah tidak ada di ruang tengah. Bahkan, Kyai Haidar juga Gus Asna tidak ada.

Hati SintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang