Part 15 - Di Rumah Kayu

195 18 0
                                    

Petir kian terdengar bersahutan dan angin terus bertiup kencang. Gerimis telah turun perlahan. Sementara aku masih mencari-cari Gus Asna. Sungguh, aku ingin tidur saja dan mengabaikannya, tetapi aku tidak bisa. Bukan hanya merasa tidak enak jika Bu Nyai Marfuah mengetahui bagaimana hubungan kami, tetapi aku sendiri pun merasa berdosa. Bagaimana bisa aku membiarkan suamiku menderita padahal dia memiliki diriku yang halal disentuh olehnya?

"Gus ... kamu di mana?" Aku bergumam sembari terus menyusuri koridor ndalem.

Saat itu aku berpapasan dengan Gus Falah-suami Mbak Tsani.

"Sinta? Ngapain ke luar? Mau hujan deres ini," tegurnya.

"Ah, Gus. Itu aku lagi nyari suamiku. Jenengan lihat ndak?"

"Oh, tadi dia bilang mau mau lihat-lihat rumah lamaku yang ukiran kayu. Dia kayaknya tertarik buat bikin rumah kayak gitu. Pasti buat kamu ya?" Gus Falah menggoda.

Aku hanya bisa tersenyum tipis karena aku tahu Gus Asna pasti hanya beralibi.

"Wah, benarkah? Aku jadi seneng kalau dia beneran mau bikinin aku rumah."

"Iya, harus dong. Kan dikasih sama suami. Susul dia gih, jangan sampai kalian kejebak hujan, nanti gak bisa balik ke ndalem loh."

"Nggeh, Gus. Suwun."

Setelah Gus Falah berbalik untuk melanjutkan jalannya, aku langsung berlari.

Di tengah tetesan-tetesan hujan yang mulai membasahi juga suara guntur yang terdengar, aku sungguh menyusulnya.

Rumah dengan furnitur kayu khas rumah adat Jawa itu menyala semua lampunya dan pintunya juga terbuka. Aku yakin, Gus Asna ada di sana.

"Assalamuaikum ... Gus ..."

Aku beruluk salam karena memasuki rumah yang lama tidak dihuni.

Mendengar suaraku, Gus Asna terkejut dan hampir saja jatuh. Dia sedang menggelantung di kusen pintu ruang tengah. Sepertinya dia menyalurkan hasrat dengan olahraga.

"Waalaikum salam warahmatullah, Sinta?" katanya kemudian turun.

"Ngapain kamu ke sini?" Dia bertanya. 

Raut wajahnya sama sekali tidak menyembunyikan rasa tidak senangnya akan kedatanganku. Pasti perasaannya campur aduk karena dengan kakiku sendiri aku menghampirinya.

"Kenapa? Apa gak boleh aku menyusul suamiku yang lagi kesusahan?"

Aku masih berdiri di pintu.

Gus Asna menghela napas. 

"Di sini berbahaya, Sinta ..." Dia berbicara pelan tanpa melihatku.

Tepat pada saat itu petir menggelegar.

Jdar!

Aku dan Gus Asna sama-sama kaget.

"Bukankah di luar lebih berbahaya? Aku tetap gak boleh masuk?" tanyaku dengan tubuh yang sudah menempel di pintu.

Selain kedinginan, aku juga takut petir.

"Masuklah. Dan tutup pintunya."

"Baiklah."

Aku pun menutup pintu kemudian menghampiri Gus Asna. Kami akhirnya duduk di kursi yang ada di sana.

Terlihat dari wajahnya, Gus Asna begitu frustrasi. Dahi hingga rahangnya mengalir keringat padahal aku kedinginan sekarang.

"Apa jenengan sudah baikan?" tanyaku di antara guntur dan hujan yang beradu di luar.

"Hm, ya ... tadi sudah lumayan, tapi karena kamu datang, aku merasa gak baik lagi," katanya.

Hati SintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang