Dulu ... jika disuruh memilih antara mencintai dan dicintai, aku pasti akan memilih untuk mencintai. Pikirku, bagi orang yang tidak mudah jatuh cinta, akan sangat tidak nyaman bila kita hidup dengan orang yang tidak bisa kita cintai. Jadi, aku memilih untuk mencintai saja. Pikirku lagi, sebagai pihak yang mencintai, aku yakin dapat meluluhkan hati dia yang kucinta.
Ternyata pemikiran itu salah besar.
Cinta tak berbalas adalah kisah paling kasihan, apalagi jika perasaan itu bertepuk pada laki-laki yang disebut suami. Jadi, setelah menurunkan semua ego, aku memutuskan menerima Gus Asna.
Kami masih suami-istri yang sah. Hanya aku yang ngotot meminta untuk bercerai, sedang dia tak pernah sekalipun berkata talak. Itu berarti masih keharusan bagiku untuk mencintainya. Lagi pula, aku tidak sedang mengharapkan cinta dari siapa-siapa. Tentang Kak Rama ... yah, aku memang penasaran apa dia sudah menikah dan memiliki anak atau hanya aku yang salah paham, tetapi setelah tahu pun mau apa?
Statusku tetap menjadi istri Gus Asna jika dia tidak mau berpisah. Jadi, perihal rasa di antara kami yang masih kecil dan sederhana, tidak apa-apa.
Cinta itu bisa tumbuh dan berkembang saat kita membuka kesempatan.
Aku yakin, aku bisa mencintainya sebesar dia yang kini telah mencintaiku.
“Mau nyoba nangkap ikan? Dulu ... kita sering ngambil ikan di sini. Kamu inget gak?”
Gus Asna berbicara setelah lama kami menatap anak sungai dengan bebatuan di depan kami.
“Hm, aku inget aku suka main di sungai, tapi aku gak inget semuanya tentang jenengan.”
Laki-laki yang menggulung kemejanya sesiku itu mengangguk-anggukan kepala.
“Ya, gak masalah. Kita tinggal buat kenangan baru, kan?” katanya.
Dia lalu turun ke bagian yang lebih dalam setelah melepas sarungnya dan menyisakan celana hitam pendek selutut. Angin sore yang menerpa bergerak mengibarkan anak rambut di wajah Gus Asna hingga membuatnya tampak lebih mempesona. Dia yang putih, bening dan tinggi itu mengulurkan tangannya seraya berbicara padaku.
“Gak mau masuk air? Rasanya sejuk, airnya juga jernih. Aku pegangin tanganmu biar gak jatuh. Ayo, sini ...”
Dia membujuk dengan senyuman. Dan itu sangat curang. Apa dia tidak sadar seberapa indah dirinya saat ini dengan matahari senja yang ada di belakangnya?
“Kalau aku ke sana, dapet apa? Jenengan bener-bener bisa nangkap ikan pake tangan kosong? Aku kok ragu ya?”
Seketika Gus Asna tertawa saat menyambut tanganku.
Grep! Dia lantas memegang pinggangku dengan satu tangannya yang lain hingga membuat tubuh kami berdekatan. Aku bahkan bisa melihat dengan jelas matanya yang berbinar saat menatapku.
Jantungku jadi terasa kian berdebar. Ini benar-benar tidak adil jika dia mengandalkan ketampanannya.
“Kalau aku beneran bisa dapet ikan buat kita makan, kamu berani kasih apa? Sekedar informasi, aku gak butuh bayaran uang.”
Aku mendengus senyum, entah kenapa wajahku jadi memanas memikirkan apa yang dia mau sebagai imbalan.
Rasanya hubungan kami berkembang terlalu cepat, kan? Atau dia memang orang yang seperti ini sejak awal jika sudah jatuh cinta?
“Jenengan mau-nya apa? Satuan pembayaran itu penjual kan yang nentuin?”
Aku mengalihkan keputusan padanya sebab aku terlalu malu untuk menebak keinginannya.
“Kamu yakin? Mau aku aja yang nentuin?” Dia memastikan. Terlihat jelas di wajahnya dia menginginkan hadiah sentuhan dan tak ada alasan untukku menolak sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Sinta
DuchoweSinta, perempuan biasa yang terjebak dalam pernikahan dengan seorang pria berdarah biru dari trah pesantren. Dia yang muak dengan pengabaian sang suami, tidak lagi berniat mempertahankan pernikahan. Maka dari itu, saat waktu yang ditetapkan Gus Asna...