Wehhh, jangan kaget. Aku galau soal judul. Akhirnya fixed ambil judul yang ini. Aku coba publish part 1. Semoga kalian semua suka, ya. Mohon sertakan pendapat kalian di kolom komentar.
Kalau rame, aku lanjut. Kalau ga rame ya kaga hihi.
Enjoy!
Aluna tak tahu apa yang harus dilakukannya. Selembar kertas di atas mejanya masih kosong. Materi pembelajaran hari ini adalah membuat karangan singkat dengan tema yang diambil secara acak. Katakanlah keadaan memang sedang tak bersahabat dengannya. Tema yang didapatnya membuatnya berpikir cukup keras. Ia sempat berusaha bertukar tema dengan teman-temannya. Sayangnya, tak ada yang mau. Sepertinya, masing-masing dari mereka sudah merasa cocok dengan tema yang didapat.
Sebatang pensil yang sudah diraut dengan sangat baik di malam sebelumnya masih menari di tangan kecil Aluna tanpa tahu apa tugas yang harus dikerjakannya. Gadis kecil itu menghela napas. Selama ini, ia tak pernah bertemu secara langsung sosok yang diminta di secarik kertas kecil tergulung itu. Ayah.
"Luna kenapa, Sayang?" Bu Meysa menghampiri Aluna yang dari tadi masih terlihat melamun dan belum memulai untuk mengerjakan tugasnya. "Kok belum dikerjakan? Ada kesulitan? Mungkin Bu Meysa bisa bantu."
"Bu Meysa, aku boleh tukar temanya?" Gadis kecil itu bertanya dengan polos. Sungguh ia sangat ingin mengerjakan tugas itu dengan lancar tanpa mengubah tema. Namun, ia sama sekali tak tahu apa yang harus ditulisnya. "Tadi Bu Meysa bilang yang dapat tema anggota keluarga disuruh untuk tulis soal kenangan apa yang pernah dibuat bersama. Aku dapat tema Ayah."
Bunyi dering bel pulang sekolah menginterupsi perbincangan antara guru dan murid itu. Sudah waktunya pulang, tapi kertasnya masih bersih. Beruntung Bu Meysa menjadikan tugas itu sebagai PR. Mungkin Aluna bisa meminta pertolongan Bunda di rumah.
Di sepanjang perjalanan pulang, Aluna sibuk mengingat apa-apa saja yang pernah diceritakan sang Bunda soal sosok ayahnya. Ayahnya tampan, Aluna tahu itu. Begitu banyak foto yang disimpan Bunda membuatnya mengenal sosok sang Ayah, meskipun belum bernah bertemu secara langsung. Ayahnya sangat menyukai panganan bolu kukus, terlebih yang warnanya hijau karena selalu senang dengan aroma pasta pandan yang wangi. Ayahnya terbiasa meminum secangkir kopi hitam sambil menikmati bolu kukus yang dibeli di warung sayur dekat rumah setiap paginya.
Yang jadi masalah adalah ... ia sama sekali tak mempunyai kenangan bersama dengan sang Ayah. Gadis itu genap berumur delapan tahun, selama itu pula ia hanya hidup bertiga dengan Bunda dan Eyang Putri. Tak ada sosok seorang Ayah yang mendampingi.
Senyuman terkembang di bibir mungilnya saat mendapati sosok Bunda menyambut di pintu rumah. Kedua tangan Bunda yang merentang menjadi hal yang selalu dirindukan dan membuatnya tak sabar untuk segera sampai di rumah. Ditambah rupa cantik berhiaskan senyuman teduh Bunda semakin menyempurnakan hari.
"Anak Bunda sudah pulang." Seperti hari-hari biasanya. Bunda—Naina memberikan pelukan eratnya pada sang putri semata wayang. Wanita itu juga tak pernah lupa menyematkan satu kecupan di kening Aluna yang sedikit basah karena keringat. Jarak rumah ke sekolah lumayan jauh, sekitar 10 menit berjalan kaki. Naina mengusap titik-titik keringat yang mengembun di kening Aluna. "Ada cerita apa di sekolah? Mau cerita?"
"Mau banget, Bunda."
***
Duduk di sofa saling menatap satu sama lain berlatarkan jendela ruang tengah sudah lama menjadi sebuah kebiasaan bagi ibu dan anak ini. Keduanya begitu menikmati saat-saat seperti ini. Mereka bisa menceritakan apapun.
Mungkin siapapun yang melihat kebersamaan keduanya akan merasa iri. Naina begitu dekat dengan putrinya. Mau apa lagi? Memang cuma Aluna yang dimilikinya, selain ibunya. Namun, hati orang tak pernah ada yang tahu. Naina pun kerap merasa iri dengan orang tua yang bisa menghadirkan sebuah keluarga yang lengkap untuk anak-anak mereka.