Guys, tolong bantu ramein PERFECT ESCAPE,yaaaa.
Meskipun sudah meminta maaf, bentakan Naina membuat sang putri menjadi pendiam. Tak seperti biasanya. Meja makan terasa begitu sepi tanpa ocehan gadis kecil itu. Aluna makan dalam diam. Makanannya masih tersisa. Bahkan, ia langsung pergi setelah berpamitan pada Naina dan Amalia.
"Luna masih marah, Ma," keluh Naina pada Amalia. "Aku sudah terlalu kasar sama dia semalam."
"Kasih dia waktu, Nai," ucap Amalia lembut seraya mengusap punggung Naina yang terlihat lemah. "Dia belum pernah ketemu Bhumi. Selama ini, Luna cuma mengenal sosok ayahnya dari foto."
"Aku harus gimana, Ma? Aku takut kalau nanti Luna bakal minta untuk bisa ketemu ayahnya. Aku harus bilang apa?" Naina tak lagi berselera menghabiskan makanannya. "Aku nggak mungkin bawa dia nemuin Mas Bhumi, Ma."
"Bhumi ayahnya, Nai. Luna punya hak untuk ketemu ayahnya," sahut Amalia. Namun, Naina tak merespons. Amalia bisa melihat tatapan kosong wanita itu. "Mama minta maaf, Nai. Mama nggak pernah nyangka kalau Bhumi bakal setega itu ke kamu dan Luna. Mama minta maaf. Mama tau sifatnya memang keras, tapi ...."
"Mama jangan bilang begitu." Naina terdiam. Tatapannya beralih pada sebuah bingkai foto yang tergantung di dinding, foto keluarganya. "Aku sudah nggak punya siapa-siaa lagi. Mama rela pergi dari kehidupan Mas Bhumi demi aku dan Luna."
"Mama memang ibu kandung Bhumi, Nai. Tapi, Mama nggak pernah membenarkan apa yang Bhumi lakukan saat itu. Dia sama sekali nggak mau dengar penjelasan dari kamu. Bahkan, dia juga nggak menghiraukan ucapan Mama. Selama ini dia nggak pernah cari kita, kan."
"Mama ...." Naina menggenggam erat kedua telapak tangan Amalia yang dimakan usia. "Aku yang harusnya minta maaf karena sudah buat Mama jauh dari Mas Bhumi. Andai aku nggak pernah datang menemui Mama, mungkin keadaannya nggak akan kayak begini."
"Kalau kamu nggak pernah datang ke Mama, mungkin Mama akan lebih menyesal. Allah sudah menunjukkan kuasa-Nya, Nai. Mungkin memang sudah waktunya kalian dipertemukan kembali."
Naina kembali terdiam. Genggaman tangannya di tangan Amalia terlepas. Sudah siapkah dirinya untuk bertemu Bhumi setelah sekian lama waktu berlalu?
"Mas Bhumi nggak akan mau ketemu sama aku dan Luna, Ma."
***
"Apa yang ada di otak kamu, Bhum? Apa kamu sama sekali nggak peduli sama istri kamu? Astagfirullah, Bhumi! Naina lagi hamil anak kalian! Kenapa kamu sama sekali nggak mau kasih dia kesempatan untuk menjelaskan semuanya? Kenapa kamu gampang banget percaya dengan apa yang kamu lihat?"
Serentetan kalimat di sambungan telepon membuat Bhumi yang sudah begitu pening menjadi tambah pening. Mamanya turun tangan. Bukannya berpihak pada dirinya, tapi sang Mama justru berpihak pada Naina. Bhumi geram. Kenapa ia sama sekali tak mendapat sokongan dari ibu kandungnya?
"Cukup, Ma. Mama sama sekali nggak tau apa-apa. Aku yang lihat dengan mata kepalaku sendiri. Anak itu bukan anakku."
"Jangan ucapan kamu, Bhumi! Jangan sampai kamu nyesal gara-gara ucapan kamu suatu hari nanti. Temui Naina dan ajak dia pulang ke rumah kalian. Naina ada di rumah Mama."
"Nggak. Aku nggak sudi ketemu dia setelah apa yang sudah dia perbuat."
"Baik kalau memang itu mau kamu. Biar Naina tinggal sama Mama. Mulai hari ini, jangan pernah kamu cari Mama. Mama kira Mama nggak akan sakit hati setelah apa yang Papa kamu sudah lakukan, ternyata Mama salah. Anak Mama sendiri yang kembali buat Mama sakit hati dan kecewa. Jaga diri kamu baik-baik."