gaes asli dah aku mo minta maap dlu sama orang Malang.
Aku coba ambil setting Malang karena selama ini cuma sekitaran Jakarta sama Depok aja. Huahahha.
Kalo ada yang salah, feel free to correct me yaa.
Chapter ini tuh hasil tanya2 ke beberapa teman sesama penulis yang tinggal di Malang sama liat GMaps. Ahahhaha
Aku mau sekalian kasih tau. Lily pending PO dulu. Aku masih belum selesai revisi naskah. Sudah lihat belum cover nya?
IItu cover nya.
Ini yang bakal menyambut kalian di setiap pembukaan babnya.
Tunggu yaaa!!!
Enjoy!!!
Tanpa sadar, air mata turun membasahi pipinya saat Naina menonton file video yang baru saja dikirimkan Bu Meysa ke nomornya. Itu video saat putrinya—Aluna maju ke depan kelas untuk membacakan karangan buatannya. Ada rasa bangga sekaligus sedih yang bercampur menjadi satu di hati ibu satu anak itu. Ia bangga karena anaknya berani maju ke depan kelas dan membacakan karangan dengan begitu lancarnya di hadapan teman-teman sekelas. Namun, sedih tak juga mau kalah menyelinap di relung hati. Derai air mata yang luruh di pipi puteri semata wayangnya membuatnya semakin bersalah dengan apa yang terjaddi di masa lalu—delapan tahun yang lalu. Kalau saja kenangan itu tak pernah terjadi, mungkin putrinya merasakan hal sama yang dirasakan teman-temannya, mempunyai sosok seorang ayah di hidupnya.
Isakkannya seketika patah saat satu tepukan mendarat di punggung rapuhnya. Wanita paruh baya yang selama ini membersamai langkahnya sudah duduk di hadapannya. Tatapannya begitu sendu. Anehnya, tatapan itu justru membuat tangis Naina kembali menderu.
"Kenapa, Nai?" tanya Amalia. Naina tak segera menjawab. Wanita itu menyodorkan ponselnya ke tangan Amalia. "Video apa ini?"
"Wali kelas Luna kirim video itu, Ma," sahut Naina seraya berusaha untuk menghentikan laju air mata yang tampak enggan berhenti mengalir. Dua lembar tisu itu sudah benar-benar basah. "Nggak tau kenapa, hatiku sakit banget lihat anakku nangis kayak begitu. Luna nggak tau apa-apa, Ma."