Naina menunjukkan kasih sayangnya terhadap Amalia. Sudah dua hari ini ia mengambil alih untuk menyeka tubuh wanita itu. Meski Bhumi juga ada di ruangan yang sama dengannya, tapi mereka tak bicara satu sama lain. Kekakuan kian terasa.
Keduanya kembali menjadi orang asing. Saat Naina duduk di sofa, maka Bhumi akan menemani Amalia. Begitu juga sebaliknya. Mereka seakan tak ingin saling terlibat. Setiap kali dokter visite, Bhumi yang lebih aktif bertanya, sementara dirinya lebih memilih untuk diam dan memperhatikan dengan cermat apa-apa saya yang dokter jelaskan. Selama dokter mengatakan Amalia dalam kondisi baik dan stabil, maka ia pun merasa tenang.
"Dok, saya berencana untuk memindahkan ibu saya ke rumah sakit kami di Jakarta," ucap Bhumi pada dokter yang menangani Amalia. "Apa itu memungkinkan, Dok? Di sana saya bisa lebih memantau kondisi beliau."
Naina yang mendengar tentu saja terkejut. Kalau benar Bhumi berniat untuk memindahkan Amalia ke Jakarta, kenapa tidak berdiskusi dulu dengannya? Ah, Naina lupa. Toh, Bhumi lebih berhak atas ibunya sendiri.
"Kita harus lihat kondisi pasien dulu, Pak. Pasien juga sempat terkena serangan jantung sesampainya di sini. Untuk bisa dipindahkan ke rumah sakit di Jakarta, pasien harus dalam keadaan stabil. Perjalanan menuju ke sana juga akan memakan waktu."
"Saya akan mempersiapkan pesawat khusus, Dok," sahut Bhumi. "Saya sudah memperhitungkan soal itu. Yang terpenting, Ibu saya bisa sembuh."
Naina memberanikan diri mendekat ke arah Bhumi tak lama setelah dokter meninggalkan ruangan. Bhumi yang tengah menggenggam tangan Amalia pun sadar kalau wanita itu sudah berada di dekatnya.
"Ka—kamu mau bawa Mama ke Jakarta?" ucap Naina. Yang ditanya hanya mengangguk sebagai jawaban. "Kenapa? Mama bisa dirawat di sini. Di sini ada banyak dokter. Aku juga bisa jaga Mama."
"Itu sudah jadi keputusanku. Sebagai anak Mama, aku punya hak untuk bawa Mama pulang ke Jakarta."
"Aku tau aku memang nggak punya hak, tapi biarkan Mama di sini. Kita bisa bawa Mama ke Jakarta kalau kondisi Mama sudah sepenuhnya membaik," sahut Naina. Ia sadar kalau seketika Bhumi segera mengernyitkan kening seraya menatapnya. "Maksud aku ... kamu bisa bawa Mama pulang ke Jakarta. Bukan kita."
"Keputusanku sudah bulat. Aku juga sudah diskusi dengan Papa. Pesawat sudah disiapkan dan bisa digunakan kapanpun."
"Mas ... tolong pikir-pikir lagi." Naina memohon. Namun, sepertinya percuma. Bhumi tak menggubris. "Baik, kalau memang itu sudah jadi keinginan kamu. Aku nggak bisa apa-apa."
"Itu—" Bhumi tak melanjutkan ucapannya. Ia dapat merasakan tangan Amalia bergerak di dalam genggamannya. Laki-laki itu pun segera memeriksa keadaan sang mama. Perlahan, kedua mata Amalia terbuka. "Mama. Mama sudah bangun?"
Amalia tak bersuara. Ia hanya merespons dengan anggukan kecil yang disertai kedipan. Sorot matanya beralih menatap Naina. Seakan menginginkan Naina untuk mendekat, ia berusaha untuk bisa mengangkat tangannya.
"Aku di sini, Mama." Naina mendekat dan meminta Bhumi untuk sedikit bergeser. "Aku senang Mama sudah sadar. Yang mana yang sakit, Ma? Mau dipanggilkan dokter?"
Namun, Amalia menggeleng. Wanita itu menepuk-nepuk lembut punggung tangan Naina. Beberapa hari tak sadarkan diri sepertinya membuat Amalia rindu akan keberadaan Naina. Hal yang membuatnya bahagia setelah kembali membuka mata adalah melihat kehadiran sang putra dan menantu.
"Luna," ucap Amalia pelan. "Luna ada di mana?"
"Luna sekolah, Ma," jawab Naina. "Kemarin dia ikut nginap di sini waktu Mama masih belum sadar. Mama kangen Luna?"
Amalia mengangguk.
"Nanti aku minta Mbak Dita antar Luna ke sini. Mama mau dipijit?" Naina tersenyum lembut saat melihat Amalia mengangguk. Ia pun mulai memijit kaki Amalia. "Mama pasti capek banget karena kebanyakan tidur, ya."