Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya Bhumi kembali menginjakkan kaki di rumah ini lagi. Rasa lelah perjalanan membuatnya tak menolak usulan Naina untuk tinggal di rumahnya selama berada di Malang. Rasanya memang tak sanggup kalau harus mencari hotel.
Bulik Yem menyambutnya di pintu masuk. Sepertinya Naina sudah mengabarkan kedatangannya ke rumah ini sebelumnya. Ia butuh istirahat.
"Mbak Nai telepon. Katanya Mas Bhumi mau nginap di sini," lapor Bulik Yem pada Bhumi. Wanita paruh baya itu melempar senyum seakan merasa lega karena bisa kembali melihat Bhumi di rumah ini setelah sekian lama. "Bulik tak nggembok pagar sek. Mas Bhumi masuk duluan ndak apa-apa."
Bhumi menurut. Meskipun waktu sudah berlalu, tetap tak ada yang berubah di rumah ini. Ruang tamu masih sama seperti dulu, bahkan peletakan sofanya. Masih sama sama persis.
Merasa sungkan, Bhumi lebih memilih duduk di ruang tamu. Ia hanyalah seorang tamu. Matanya menyisir ke seluruh bagian ruangan. Semua tertata dengan baik. Ruang tamu ini mendapatkan sentuhan tangan Naina. Tirai, sarung bantal sofa dan taplak mejanya ... jelas-jelas selera Naina. Ada sebuah bingkai foto besar tergantung di dinding. Foto tiga orang itu menarik perhatiannya. Ketiganya terlihat begitu bahagia.
"Bulik sudah siapkan kamar tamu. Mas Bhumi mau langsung istirahat?" tanya Bulik Yem yang segera membuyarkan pikiran Bhumi.
"Kalau boleh, aku mau tidur di kamar Mama," jawab Bhumi. "Boleh?"
Bulik Yem mengangguk seraya tersenyum. "Boleh. Bulik antar."
Bhumi merasa begitu tenang di kamar Amalia. Gegas ia menghampiri ranjang, seakan Amalia tengah berbaring di sana dan menyambut kedatangannya. Namun, ia segera tersadar. Hanya ada dirinya di kamar ini.
Ia terduduk di atas ranjang sembari memeluk bantal sang mama. Bau khas wanita yang melahirkannya tak pernah berubah. Bau minyak wangi yang sudah lama Amalia pakai.
"Mama," ucapnya lemah. Matanya terasa pedih. Bhumi menangis. "Aku kangen."
Kesedihan membuatnya tertidur. Bunyi kokok ayam membangunkannya. Kemarin jadwal prakteknya padat ditambah ia harus mendapatkan tiket penerbangan secepatnya dan perjalanan dari bandara ke rumah sakit yang lumayan terhambat karena macet.
Tangannya meraba nakas di samping ranjang. Matanya menyipit menatap layar ponsel yang menyala. Ada beberapa pesan masuk, dari dokter jaga yang meminta advice tindakan. Selesai membalas semua pesan, ia lantas beranjak ke kamar mandi. Ia butuh membersihkan diri sebelum kembali ke rumah sakit.
"Aku di Malang," ucap Bhumi dengan ponsel tertempel di telinga. Kedua tangannya sibuk mengancingkan kemeja. "Mama masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi. Mau lihat kondisi Mama dulu. Kemungkinan aku bakal bawa Mama ke Jakarta untuk dirawat di sana. Sudah dulu, Pa. Aku harus pergi."
Sang Papa pasti sudah mendapatkan laporan cuti dadakannya dari pihak rumah sakit. Jelas ia akan mendapatkan banyak pertanyaan sepulangnya ke Jakarta. Biarlah itu menjadi urusan nanti.
Matanya tertuju pada sebuah mushaf di atas nakas. Di sebelahnya ada kotak kacamata baca milik Amalia. Perhalan, dibukanya mushaf itu. Sebuah penunjuk menjadi batas halaman terakhir yang Amalia baca. Bhumi tersenyum. Mamanya memang taat beribadah. Lembar demi lembar dibukanya. Sesuatu yang terselip di sana terjatuh. Selembar foto—dirinya dan Naina dengan perut yang besar. Tanpa pikir panjang, ia pun segera mengembalikan foto itu ke tempat semula.
"Mas, sarapannya sudah Bulik siapkan." Terdengar suara Bulik Yem dari balik pintu. "Mas Bhum sudah bangun?"
"Iya, Bulik. Sebentar lagi aku keluar," sahut Bhumi.
***
Semalam ia kehabisan tenaga dan tak sempat menyisiri seluruh bagian rumah. Langkahnya terhenti di ruang tengah. Di sinilah mereka—dirinya dan Naina berbincang untuk pertama kali setelah menikah. Dua orang asing yang disatukan dalam ikatan pernikahan yang tiba-tiba. Bhumi masih ingat betapa kakunya suasana saat itu.