HAPPY READING!!!!!!!!
"Terima kasih karena sudah antar aku ke sekolah. Hati-hati di jalan, ya. Assalamualaikum."
Kalimat itu terus-menerus terngiang di telinga Bhumi. Bayangan dirinya yang memayungi Aluna saat keluar mobil dan berjalan menuju lobi sekolah pun ikut diputar. Meskipun di sepanjang perjalanan menuju sekolah keduanya sama sekali tak terlibat perbincangan, tapi Aluna tak lupa untuk mengucap terima kasih, bahkan mengecup punggung tangan Bhumi yang basah karena air hujan.
Di kamarnya, Bhumi menatap amplop yang baru saja ia terima dari Naina. Ia sudah menghubungi pengacara yang nantinya akan dipercaya untuk menangani kasus perceraiannya. Soal harta gono-gini dan nafkah anak juga sudah dikonsultasikan dengan pengacaranya, meskipun Naina pernah mengatakan kalau wanita itu tak akan pernah menuntut kedua hal itu. Perihal hak asuh anak, Bhumi menyerahkan sepenuhnya pada Naina.
Bukan Bhumi tak pernah mencari keberadaan Naina dan mamanya saat itu. Ia sudah berusaha mencari, bahkan mengunjungi semua kerabat dari pihak sang mama. Namun, semuanya memilih bungkam. Tak ada seorang pun yang buka suara.
Tinggal seorang diri dalam keadaan yang begitu frustasi jelas sangat menyiksa. Hidupnya hancur untuk jangka waktu yang cukup lama. Kalau sebelumnya rumah lah yang menjadi tujuan setelah seluruh pekerjaan selesai, saat itu justru ia sangat menghindari pulang ke rumah. Bhumi lebih memilih untuk bermalam di rumah sakit.
Kakinya melangkah menuju jendela kamar. Ini adalah spot terfavorit Naina dulu. Bahkan, ia masih ingat betul kenangan di mana Naina yang melambaikan tangan saat dirinya tiba di rumah dan seketika wanita itu sudah menyambutnya di ambang pintu. Menyambut dengan pelukan hangat dan membimbingnya ke meja makan. Lelahnya hilang seketika.
Andai emosinya tak dimenangkan, mungkin semuanya masih bisa diupayakan. Andai ia mau mendengarkan penjelasan Naina, mungkin perpisahan itu tak akan pernah terjadi. Andai adik tirinya tak melakukan hal itu, mungkin ia bisa menerima Aluna sebagai anaknya.
"Shit!"
Bhumi menuruni anak tangga dan menemui Amalia yang sedang santai di kamarnya. Wanita itu terkejut karena tiba-tiba sang putra masuk ke kamar.
"Kamu kenapa?" tanyanya pada Bhumi. Putranya hanya menggeleng. Amalia menepuk sisi kasur di dekatnya, meminta Bhumi untuk duduk. "Mama sudah minta Nai untuk cari rumah dekat sini."
"Untuk apa, Ma?" sahut Bhumi. "Mama bisa tinggal di sini."
"Tapi, Nai nggak bisa," timpal Amalia. "Setelah proses perceraian kalian selesai, kamu dan Nai nggak boleh tinggal di satu rumah. Kalau kamu mau Mama tinggal di sini tanpa Nai dan Luna, Mama nggak mau."
"Tapi, Ma ..." protes Bhumi pelan. "Nggak mau dipikir-pikir lagi?"
"Ini demi kebaikan kita semua," jawab Amalia. Wanita itu mengawang ke langit-langit kamar. "Luna juga butuh suasana yang baik untuk tumbuh kembangnya. Kami akan kembali ke Malang setelah sekolahnya di sini selesai."
"Mama, aku yang anaknya Mama. Kenapa Mama lebih pilih untuk tinggal sama Nai ketimbang aku?" Bhumi kembali protes. Kali ini, rasa frustasinya benar-benar tampak. "Mama seharusnya tinggal sama aku."
"Mama nggak bisa bohong kalau saat itu Mama kaget banget waktu kamu bawa Nai ke Bogor. Tapi, apa yang sudah Nai lakukan membuat Mama bersyukur karena kamu menikah dengan perempuan yang tepat. Nai bukan cuma menantu buat Mama, tapi Nai juga sudah Mama anggak layaknya anak sendiri."
Amalia meraih tangan Bhumi. Sungguh ia berharap kalau ia bisa sedikit menyadarkan sang putra.
"Jangan benci Luna. Anak itu nggak tau apa-apa," ucap Amalia. "Nai membesarkan Luna dengan sangat baik. Mama salut sama Nai. Dia banting tulang demi bisa memberikan yang terbaik untuk Luna. Mendiang orangtuanya meninggalkan banyak harta, tapi Nai nggak pernah mau pakai. Dia bilang kalau semuanya akan diberikan ke Luna."