HAPPY READING! RAMAIKAN!!!!!
"Lho, Mbak Nai bukan, sih?"
Teguran seseorang membuat Naina yang sedang menyapu teras mendongak. Naina mencoba mengingat rupa seorang wanita paruh baya yang baru saja menyapa. Ingatannya tak begitu buruk.
"Nggih, Bu," jawab Naina sopan. Gegas ia menyandarkan sapu dan berjalan menuju gerbang. Ia tersenyum dan menjulurkan tangan "Bu Zulfikar, ya?"
"Tak sawang kok kayak Mbak Nai. Mau nyapa, tapi takut salah orang." Bu Zulfikar terkekeh renyah. Wanita itu memang dikenal ramah pada siapapun. "Aku sampai mbalik buat memastikan, lho."
"Iya, Bu," sahut Naina lembut. "Ini saya. Ibu pripun kabare?"
"Baik, Mbak Nai," jawab Bu Zulfikar. "Sudah lama nggak lihat Mbak Nai. Pangling tenan. Tambah ayu."
Pujian Bu Zulfikar direspons Naina dengan senyuman.
"Anaknya ikut dibawa ke sini, Mbak?" tanya Bu Zulfikar. Naina mengangguk. "Pasti sudah besar, ya. Dulu waktu pergi Mbak Nai lagi hamil besar. Kelas berapa sekolahnya?"
"Kelas tiga, Bu. Kebetulan pindah sekolah ke sini juga. Mama sedang masa pemulihan," ucap Naina.
"Lho?" Bu Zulfikar terkejut. "Mamanya Mas Bhumi ada di sini juga, Mbak?"
"Iya, Bu. Sebelumnya Mama dirawat di Malang, tapi Mas Bhumi bilang kalau Mama akan mendapat perawatan yang lebih baik di Jakarta," jelas Naina.
"Jadi, selama ini Mbak Naina di Malang?" tanya Bu Zulfikar. Naina mengangguk. "Ya Allah, Mbak. Saya ingat hari itu Mbak Naina keluar dari rumah ini bawa koper besar. Saya bingung ada apa. Mas Bhumi sempat jarang pulang ke sini, kayaknya. Soalnya rumah selalu gelap gulita. Kayak nggak ada yang nempatin. Nggak lama, ada gosip kalau Mbak Nai dan Mas Bhumi sudah pisahan." Bu Zulfikar menyelipkan sebuah dompet di ketiaknya. "Benar begitu, Mbak? Mas Bhumi juga pernah bilang kalau dia itu single. Mbak Nai jangan salah paham dulu. Maksud pertanyaan saya, kalau memang benar, ada baiknya Mbak Nai laporan dulu ke Pak RT. Nggak baik tinggal satu atap kalau sudah tidak dalam ikatan pernikahan. Ini semua juga demi kebaikan Mbak Nai dan Mas Bhumi."
"Kami sedang dalam proses," ujar Naina.
"Proses?" tanya Bu Zulfikar spontan. "Rujuk?"
Naina segera menggeleng. "Pisah. Tinggal tunggu surat panggilan sidang."
"Saya ndak bisa bilang apa-apa. Semoga semuanya berjalan lancar."
"Bunda!" Aluna memanggil dari ambang pintu.
"Ya, Nak," sahut Naina. Aluna segera menghampiri sang bunda. "Ada apa? Luna butuh sesuatu?"
"Bunda dipanggil Uti," jawab Aluna. Tanpa diperintah, bocah itu mencium tangan Bu Zulfikar dengan sopan.
"Ealah, bocah ko yo pinter banget. Namanya siapa, Nduk?" tanya Bu Zulfikar pada Aluna. Ia membelai rambut Aluna yang digerai.
"Luna, Bu," jawab Aluna.
"Panggil Eyang aja, ya," balas Bu Zulfikar. Sadar ia sudah terlalu lama menghabiskan waktu, ia pun segera berpamitan. "Mbak, aku tak belanja sek. Takut kehabisan. Main-main ke rumah, ya. Monggo."
Naina menggandeng Aluna masuk. Di ruang tamu, keduanya berpapasan dengan Bhumi yang menenteng laptop di tangan kanan dan secangkir kopi di tangan kirinya. Sejak kejadian hari itu, Naina memilih untuk diam dan hanya akan bicara saat diminta.
Naina masuk ke kamar Amalia. Wanita itu sedag bersandar di ranjang dan membaca buku.
"Ada apa, Ma?" tanya Naina pada Amalia. "Luna bilang kalau Mama panggil aku. Mama butuh apa?"