MKSUK 4

13.3K 851 35
                                    

Naina merasa ada yang aneh pada Bulik Yem. Asisten rumah tangga yang sudah puluhan tahun mengabdi pada keluarganya itu seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, ia harus menunggu. Biarlah Bulik Yem sendiri yang bicara, kalau mau.

Aluna terlihat begitu menikmati bakpao cokelat yang baru saja dibelikan bundanya. Amalia yang sudah sempat memakan satu bakpao berisikan ayam pun memilih mengistirahatkan dirinya di kamar. Usia yang semakin senja membuat wanita paruh baya itu terbiasa tidur lebih awal.

"Selesai makan bakpao, Luna gosok gigi, ya," ucap Naina pada sang putri. Aluna yang tengah menghabiskan sisa bakpaonya pun mengangguk. "Buku pelajaran untuk besok sudah disiapkan?"

"Uah, Nda," sahut Aluna dengan artikulasi yang kurang jelas karena mulutnya masih dipenuhi bakpao. Gadis kecil itu segera berjalan menuju kamar mandi untuk melaksanakan perintah sang Bunda.

Naina sudah menunggu Aluna di kamarnya. Sudah menjadi rutinitas setiap malamnya untuk membersihkan ranjang dengan sapu lidi. Pendingin ruangan tak dibutuhkan. Dinginnya udara usai hujan sepertinya sudah bisa membekukan tulang.

Putri kecilnya masuk ke kamar. Di hadapannya, Aluna menampilkan deretan gigi putihnya. Naina tersenyum dan langsung meminta sang putri untuk naik ke atas ranjang. Wanita itu pun menyusul merebahkan tubuh di atas ranjang—di sebelah Aluna. Dibentangkannya selimut tebal untuk melindungi tubuh keduanya dari hawa dingin kota Malang yang begitu menusuk. Mereka akan memasuki bagian yang paling mereka suka. Bercerita sebelum tidur.

"Bunda," ucap Aluna lembut. Gadis kecil itu memeluk sebuah boneka berbentuk pisang besar yang diwarisinya dari Naina. "Cerita malam ini tentang apa?"

"Luna mau diceritakan tentang apa?" sahut Naina lembut. Jari-jemarinya menyugar surai hitam legam putrinya yang dibiarkan tergerai. Ia bisa menghidu dengan sangat jelas aroma sampo stroberi yang digunakan putrinya. "Luna belum ngantuk?"

"Belum, Bunda," jawab Aluna cepat. "Cerita tentang Ayah lagi, boleh?"

Naina menghela napasnya. Tak terhitung sudah seberapa sering ia menceritakan sosok laki-laki itu pada Aluna. Namun, sepertinya gadis kecil itu memang tak pernah bosan. Laki-laki itu sudah menjadi sosok cinta pertama Aluna, meskipun sama sekali belum pernah ditemuinya.

"Semua tentang Ayah sudah Bunda ceritakan ke Luna. Apa lagi yang mau Luna tau, Sayang?" ucap Naina, masih sama lembutnya dengan sebelumnya. "Luna nggak pernah bosan dengar cerita tentang Ayah, ya?"

Aluna mengangguk. Gadis itu tersenyum seraya menikmati belaian Naina di puncak kepalanya. Sama sekali tak pernah bosan. Mendengar segala hal tentang sang Ayah adalah hal yang disukainya.

"Ceritain lagi waktu Ayah kasih pesta kejutan untuk Bunda," pinta Aluna. Ia sudah mengubah posisinya. Kini, gadis itu sudah berbaring menghadap sang Bunda. "Aku suka dengarnya."

"Ya Tuhan, Mas. Andai kamu tau semua ini, apa mungkin kamu akan tetap menolak anak ini?" ucap Naina dalam hatinya. Batinnya teriris setiap kali mengingat deretan pesan elektronik yang dikirimkannya pada laki-laki itu. Tak ada satu pun yang dibalas. Hampir 9 tahun sudah waktu berlalu. "Dia begitu sayang sama kamu, Mas. Apa boleh aku berarap suatu hari nanti kita bisa kembali dipertemukan? Aku tau itu kamu, Mas. Biarpun cuma sebentar, aku yakin itu memang kamu. Kamu sehat dan nggak berubah sama sekali."

"Bunda." Aluna mengguncang pelan tubuh Naina. Gadis itu mendapati bulir bening yang perlahan turun dari sudut mata bundanya. "Bunda kenapa nangis?"

"Nggak apa-apa, Sayang." Naina gegas mengusap lelehan air mata itu. "Bunda mulai ceritanya, ya."

***

Memastikan putrinya sudah tertidur lelap, Naina memutuskan untuk keluar dan menghirup udara segar. Pintu teras belakang sudah dibuka. Wanita itu tak lupa membuat secangkir kopi susu tanpa ampas favoritnya.

MENJADI KISAH SEMPURNA UNTUK KITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang