Aku nggak bosen ya minta tolong rameikeun Perfect Escape. Muah muah muah. Tulung yaaaaaa.
"Pesanannya sudah semua ya, Mbak." Naina menyerahkan seluruh kue yang sudah dipesan Dhita sebelumnya. Ia selalu bersungguh-sungguh setiap kai mengerjakan pesanan yang masuk. Namun, khusus hari ini ia mengerahkan lebih usahanya. Terutama untuk kue bolu kukus pandan. "Penerbangannya jam berapa, Mbak?"
"Jam 2. Setelah landing, kami langsung ke venue dijemput Mas Bhumi," ucap Dhita.
"Ma—Mas Bhumi?" sahut Naina dengan nada terkejut. Sungguh ia harus bisa menjaga emosinya. "Memangnya dia sempat jemput? Kan mau tunangan."
"Tunangan?" Kedua alis Dhita saling bertautan. Naina mengangguk. "Yang tunangan itu bukan Mas Bhumi, tapi Mas Alfian. Mas Bhumi sudah nikah, tapi katanya istrinya nggak tau pergi ke mana. Itu yang aku dengar dari Mas Katon. Dia juga belum pernah ketemu sama istrinya Mas Bhumi."
Pedih hati Naina mendengarnya, meskipun ada sedikit perasaan lega yang terselip di sana karena ternyata buka Bhumi yang akan melangsungkan pertunangan. Ia dinilai sebagai seorang istri yang pergi meninggalkan rumah. Sungguh bukan keinginannya meninggalkan rumah saat itu. Bhumi yang memintanya pergi.
"Lho, ada Dhita," ucap Amalia yang baru saja bergabung dengan mereka di ruang tamu. "Sudah lama, Dhit?"
"Belum, Bu. Baru banget, kok," jawab Dhita seraya mengecup punggung tangan Amalia. Tatapan Dhita kembali beralih ke arah Naina. "Kalau kamu mau, biar aku minta Mas Katon ngenalin kamu ke Mas Bhumi. Siapa tau kalian jodoh."
"Bhumi?" serobot Amalia cepat. Dhita pun menanggapinya dengan anggukan. Amalia gegas menatap Naina yang tiba-tiba memucat. "Nai?"
"Ma," ucap Naina lemah. Ia menggeleng pelan. "Sudah, ya. Nanti aku jelaskan. Aku janji."
Amalia terpaksa mengangguk.
"Gimana, Nai?" ucap Dhita. "Kebetulan nanti aku sama Mas Katon bakal nginap di rumahnya Mas Bhumi."
"Rumah yang di mana—" Naina seketika langsung menutup rapat bibirnya. Ia bisa melihat Dhita yang sedikit memicingkan mata ke arahnya. "Semoga perjalanannya lancar ya, Mbak."
Dhita melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Nai, aku pamit dulu. Nanti aku bawakan oleh-oleh, ya."
Naina menatap kepergian Dhita. Di sampingnya, Amalia setia mengusapi punggung rapuhnya. Napas Naina terasa sedikit berat.
"Kamu hutang satu penjelasan ke Mama," ucap Amalia. "Ada apa sebenarnya?"
***
Bhumi menunggu kedatangan Katon dan Dhita di pintu kedatangan domestik. Masih ada waktu beberapa jam sebelum acara pertunangan Alfian dimulai. Beberapa kali ia menengok jam di tangannya. Seharusnya pesawat yang ditumpangi keduanya sudah mendarat, jika memang sesuai dengan jadwal.
"Bhumi?" Suara seseorang yang baru saja memanggil membuat Bhumi menengok. "Aku kira salah orang. Kamu ngapain di sini?"
Bhumi menghela napasnya.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Bhumi. Wanita itu melepas kacamata yang bertengger di hidung mancungnya.
"Seharusnya aku yang tanya. Kamu ngapain ke sini?"
"Jemput teman," jawab Bhumi singkat.
"Aku baru balik dari Makassar. Ada kerjaan di sana," ucap wanita itu. "Papa sama Mama kamu sudah kasih tau kalau bulan depan ulangtahun pernikahan orangtuaku?"