"Perjodohan kamu dengan Jelita dibatalkan." Ucapan Panji Adhyaksa yang baru saja tiba di ruang makan sontak membuat Bhumi hampir saja menyemburkan kopi paginya. Beberapa hari yang lalu sang ayah memintanya untuk bermalam. "Nama baik keluarga kita bisa hancur kalau sampai kamu nikah sama dia nantinya."
Bhumi tertawa dalam hati. Tuhan baik dan masih berpihak padanya. Tuhan tahu benar kalau ia memang tak pernah menginginkan perjodohan konyol ini.
Panji kerap menuntut pewaris darinya. Bhumi dipersiapkan untuk menjadi putra mahkota yang nantinya akan melanjutkan kepemimpinan rumah sakit keluarga mereka. Seorang putra mahkota juga harus menyiapkan pewaris selanjutnya.
"Kenapa tiba-tiba begini, Pa?" tanya Bhumi basa-basi. Ia mengamati papanya yang duduk di hadapannya. "Bukannya Papa bilang kalau Papa mau punya menantu yang bisa bikin bangga keluarga?"
"Apanya yang bikin bangga? Jelita hamil di luar nikah sama pacarnya!" sahut Panji kesal.
"Hamil?" tanya Bhumi santai. "Papa dapat berita dari mana?"
"Beritanya sudah tersebar di internet. Keluarga kita ikut-ikutan terseret karena kabar kedekatan kalian sudah banyak yang tau. Untung bukan kamu yang bikin dia hamil."
Bhumi tertawa renyah. Namun, tawanya seketika sirna ketika ibu tirinya ikut bergabung di meja makan. Entah kenapa meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, rasa benci karena wanita itu sudah merusak rumah tangga kedua orang tuanya masih begitu subur. Wanita itu sudah membuat ibunya tersingkir dari rumah ini. Tak pernah terlibat percakapan, kecuali dalam keadaan terpaksa.
"Aku pamit dulu."
"Kamu pergi bukan karena ada Tante, kan?" sindir Yunita. Wanita yang sudah terlihat cantik dengan riasan setengah tebal dan tatanan rambut tertata itu duduk di dekat suaminya. Ia duduk di tempat di mana Amalia biasa duduk dulu. "Kamu ada masalah apa sih sama Tante?"
"Ini masih terlalu pagi untuk bertengkar," ucap Panji berusaha untuk menengahi. "Jangan buat selera makanku rusak. Mood-ku sudah hancur gara-gara berita kehamilan Jelita."
"Seharusnya kamu peringatkan anak kamu untuk menghormati aku sebagai istri kamu, Ma!" desak Yunita. "Biar bagaimanapun aku ini juga ibunya."
Seketika tawa Bhumi terdengar.
"Untukku, Tante cuma istri Papa. Aku nggak pernah menganggap Tante sebagai ibu. Ibuku cuma Mama!"
"Kamu masih anggap perempuan yang sudah bertahun-tahun nggak pernah nemuin kamu sebagai Mama?" ucap Yunita dengan nada meledek.
"Jaga mulut Tante!" bentak Bhumi tegas. "Tante nggak tau apa-apa soal Mama. Tante yang harusnya malu karena sudah jadi orang ketiga dan merusak rumah tangga orang lain. Mama nggak pernah pantas mendapatkan perlakukan kayak begini. Asal Tante tau, sampai kapanpun, nyonya di rumah ini cuma Mama. Ibu sama anak sama aja. Bisanya cuma merusak hidup orang lain. Aku pergi, Pa."
Baru beberapa langkah Bhumi meninggalkan ruang makan, Yunita kembali berucap. Pelan, tapi Bhumi bisa mendengar dengan jelas.
"Nggak usah lah kamu cari-cari jodoh untuk dia. Lagipula selama ini juga dia nggak suka dijodoh-jodohin. Kalau kamu memang butuh penerus, kamu bisa suruh keponakanku untuk bantu kamu."
"Aku nggak akan pernah menyerahkan bisnis keluarga ini ke orang yang nggak paham bagaimana caranya berbisnis. Keponakan-keponakan kamu itu taunya cuma merongrong. Nggak tau sudah berapa banyak uangku yang mereka pakai."
"Andai Andra masih ada," ucap Yunita lirih.
"Dia mati karena ulahnya sendiri! Dan gara-gara dia rumah tangga Bhumi dengan Naina hancur berantakan, kalau kamu lupa."