Naina menatap sedih Aluna yang tengah lahap menyantap sarapannya. Seharusnya kepergian mereka ke Jakarta saat itu menjadi obat penawar rindu Aluna terhadap sang Ayah yang begitu membuncah. Seharusnya Aluna bisa mencurahkan segala seluruh isi hatinya pada satu-satunya pria yang selalu menjadi cinta pertamanya. Seharusnya ...
"Bunda," tegur Aluna pada Naina. Gadis kecil itu jelas dibuat bingung karena bundanya sama sekali belum menyentuh nasi goreng lezat buatan Bulik Yem. Menyadari tak juga mendapat respons, Aluna memegang lembut lengan Naina. "Bunda kenapa bengong?"
Naina tak sadar kalau ternyata kesedihan telah membawanya jauh ke dalam lamunan. Kedua matanya seketika mengerjap terkejut mendapati sang putri yang masih setia menatap ke arahnya. Ditangkapnya sedikit rasa khawatir di wajah Aluna.
"Bunda nggak apa-apa, Sayang," ucap Naina tenang. Ia memungut sebutir nasi di sudut bibir putrinya. "Tamunya ketinggalan satu. Makannya dilanjut, ya."
"Aku mau main ke rumah Delisa. Boleh?" Aluna tak ingin menyia-nyiakan hari Minggunya dengan hanya berdiam diri di rumah.
"Boleh," sahut Naina setuju. "Tapi nggak sendirian, kan?"
"Nanti Amel jemput ke sini, Bunda."
"Ya sudah. Luna boleh main, tapi jangan merepotkan, ya. Nanti Bunda bawakan kue untuk Delisa."
Bulik Yem sedang menyiapkan sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Amalia meminta agar makan siangnya diantar ke kamar setelah melewatkan sarapan tadi pagi.
"Biar aku yang bawakan ke kamar Mama, Bulik," ucap Naina. "Bulik bisa lanjut kerjakan yang lain."
Naina mengetuk pintu kamar dan melihat wanita yang selama ini dianggap sebagai ibunya sedang menyandarkan tubuh di kepala ranjang. Di tangan wanita itu melingkar tasbih yang selalu setia menemaninya setiap hari. Akhir-akhir ini, Amalia lebih sering menghabiskan waktunya di kamar menonton tayangan sinetron yang tak pernah ada habisnya sembari bertasbih.
"Sudah waktunya makan siang, Ma." Dengan hati-hati, Naina duduk di atas ranjang. "Mama pasti suka. Menu siang ini Bulik Yem buat khusus untuk Mama."
Amalia melirik isi piringnya dan tersenyum. Makanan kesukaannya, bothok mlanding teri dan tempe bacem.
"Bulik Yem memang selalu ngerti apa yang Mama mau," ucap Amalia bercanda. Wanita itu mengambil alih piring dari tangan Naina. "Mama kok nggak dengar ocehan Luna."
"Luna pergi ke rumah temannya. Ini hari Minggu. Kasihan kalau cuma di rumah. Tadi mau pamitan, tapi Mama tidur."
Amalia menikmati suapan pertamanya. Namun, wanita itu merasa Naina sedang memikirkan sesuatu.
"Kamu kenapa?" tanyanya sedikit khawatir. "Ada masalah?"
"Sudah satu minggu kita kembali ke sini, tapi hidupku nggak tenang sama sekali, Ma," ujar Naina lemah. "Aku ngerasa bersalah karena aku sudah buat anakku kecewa. Aku semakin ngerasa bersalah karena sampai detik ini Luna nggak pernah menyinggung soal apa yang terjadi di Jakarta waktu itu. Aku harus bagaimana, Ma?"
"Nanti kamu bisa pelan-pelan ajak dia ngobrol." Amalia memberi saran. "Nai, kamu tau kan kalau Mama akan dukung apapun yang menjadi pilihan kamu?" tanya Amalia yang mendapat jawaban sebuah anggukan dari Naina. "Mama nggak mau kamu terus-menerus merasa sakit. Sudahi semua ini, Nai. Selama ini kamu selalu menunggu. Sekarang, bukan lagi saatnya untuk kamu menunggu. Mama nggak akan pernah bela Bhumi, meskipun dia anak kandung Mama. Biar bagaimanapun, apa yang sudah dia lakukan itu salah. Kamu boleh menggugat cerai dia. Mama ridho."
"Mama ..."
***
Suara grendel pagar terdengar. Naina sibuk di dapur mengerjakan sisa pesanan untuk esok hari. Tak lama, ocehan-ocehan ceria pun kembali memenuhi seisi rumah.