HAPPY READING!!!
Naina menunggu dengan cemas di ruang tunggu operasi. Dokter memperkirakan operasi akan memakan waktu tiga sampai lima jam ke depan. Penyumbatan di otak Amalia kemungkinan besar akibat adanya benturan keras di kepala. Tengkoraknya pun sedikit retak.
"Nai, diminum dulu." Dhitta menyerahkan sebotol air minum ke tangan Naina. Ia baru saja kembali dari kantin rumah sakit. "Aku beli roti. Rotinya enak-enak. Kamu makan, ya."
Naina menggeleng. Tenggorokannya pun rasanya tak sanggup untuk sekadar menengguk air, apalagi roti. Ia tak akan merasa tenang sebelum operasi selesai.
"Mbak, kamu lebih baik pulang. Anak-anak lebih butuh kamu," ucap Naina pada Dhitta. Ia merasa tak enak hati karena Dhitta menemaninya seharian ini. "Kasihan mereka. Kangen sama mamanya"
"Kamu nggak usah mikirin anak-anak. Mereka sudah ada yang urus. Ada Ibu dan Lik Pur di rumah," balas Dhitta. "Aku temani kamu. Mas Katon juga paling sebentar lagi ke sini antar barang-barang kamu dan baju gantiku."
"Terima kasih banyak, Mbak. Aku nggak tau harus ngomong apa lagi," ucap Naina tertunduk. Matanya mulai berkaca-kaca. "Kalau Mama nggak ada, aku nggak punya siapa-siapa lagi."
Dhitta semakin merapatkan duduknya. Ia memeluk Naina. Wanita itu merasa iba mengingat kisah hidup Naina yang harus kehilangan seluruh anggota keluarganya secara bersamaan.
"Kamu punya Luna dan semua orang yang sayang sama kamu, termasuk aku. Kamu sudah aku anggap kayak adikku sendiri." Dhitta mengusap lelehan air mata di pipi Naina. Tangannya mengambil sebungkus roti yang sebelumnya dibeli. "Aku nggak mau tau, pokoknya sekarang kamu makan du—"
"Kenapa, Mbak?" tanya Naina bingung karena tiba-tiba Dhitta menghentikan ucapannya. Yang ditanya tak menjawab. Wanita itu mengarahkan dagunya ke balik punggung Naina. "Mbak kenapa?"
"Mas Bhumi," bisiknya.
Seketika Naina langsung membeku. Ia tak sanggup membalikkan badan dan menyambut kedatangan anak lelaki Amalia satu-satunya itu. Andai bisa memilih, ia akan pergi dari sini dan membiarkan Bhumi mengurus semuanya. Namun, itu tak mungkin. Naina tak bisa meninggalkan Amalia.
"Bagiamana kondisi Mama?" ucap Bhumi, tapi tak ada satu pun yang menjawab. Sebuah koper berukuran sedang berdiri di dekatnya. "Operasinya sudah daritadi?"
Masih tak ada yang menjawab. Bhumi mendadak kesal.
"Ada dua orang di sini dan nggak ada yang jawab pertanyaanku?" ucapnya lagi.
"Ada dua orang di sini dan kami nggak tau kamu lagi tanya ke siapa," balas Dhitta sini. "Kamu tanya ke aku atau ke Nai?"
"Siapapun yang bisa jawab," jawab Bhumi. "Katon belum balik?"
"Kalau kamu tanya kondisi mama kamu, tanya ke Nai. Mas Katon pulang sebentar tengok anak-anak di rumah sekalian ambil barangku dan barangnya Nai. Sebentar lagi balik."
"Mama kenapa?" tanya Bhumi. Saat ini, bukan Dhitta yang ia tatapm melainkan Naina. "Apa yang terjadi sama Mama? Kenapa Mama bisa sampai begini? Kamu ke mana?"
"Mas Bhumi!" bentak Dhitta tegas. Ia sontak berdiri dan mengacungkan telunjuknya ke arah Bhumi. "Kebangetan! Kamu tuh, ya, datang-datang langsung ngoceh kayak begini."
"Mbak, sudah." Naina menenangkan Dhitta. "Biar aku yang bicara."
Naina mengajak Dhitta untuk kembali duduk.
"Mama jatuh di kamar mandi. Kepala Mama terbentur," jelas Naina. "Aku—"
"Kamu ke mana? Kenapa Mama bisa jatuh di kamar mandi? Kenapa kamu nggak menjaga Mama dengan baik?"