Jihoon kembali ke sekolah seperti biasa nya, saat ia hendak memasuki lift, seseorang mendorong kursi roda nya dari dalam dengan menggunakan kaki nya.
"Sudah penuh, gunakan kaki mu untuk lewat tangga saja sana" usir nya, bibir Jihoon bergetar menahan tangis, tapi kata-kata papa dan mama nya beberapa hari yang lalu membuat tangis nya urung, ia berjalan menuju ke tangga, untuk naik ke lantai dua dengan meninggalkan kursi roda nya di bawah, Jihoon merangkak naik dengan kedua tangan nya sendiri.
Yoshi dan Asahi yang baru datang pun di buat curiga melihat kursi roda sang sang sahabat berada di bawah anak tangga.
"Kemana dia?" Gumam Asahi cemas, ia celingukan mencari keberadaan Jihoon, takut terjadi hal-hal yang tidak di ingin kan, Yoshi berlari menaiki tangga dan melihat Jihoon merangkak menuju ke ruang kelas nya, sedangkan murid-murid yang lain hanya menonton dan beberapa berbisik membicarakan Jihoon.
"Jihoon-ie!" Teriak Yoshi, Asahi yang mendengar itu pun ikut menaiki tangga
"Astaga Jihoon- ie" kedua sahabat itu menghampiri Jihoon
"Kenapa tidak lewat lift?" Tanya Yoshi
"Lift penuh tadi" jawab Jihoon, Asahi dan Yoshi pun membantu Jihoon dengan menggendong nya, sementara Asahi menjaga di belakang Jihoon.
"Kenapa kalian diam saja?" Bentak Yoshi pada teman sekelas nya yang hanya menatap iba dan kasihan pada Jihoon, mendengar teriakan sang ketua kelas, mereka pun berhambur keluar, beramai-ramai mengambilkan kursi roda milik Jihoon.
Jihoon tak pernah menceritakan perundungan yang ia terima kepada orang tua nya, ia memilih untuk menyibukan diri dengan belajar, agar pikiran nya teralihkan, selain soal fisik, Jihoon juga adalah satu-satu nya murid yang paling sederhana, pensil warna yang ia bawa ke sekolah saja milik dia saat taman kanak-kanak dulu, tapi ia tak pernah meminta yang baru pada kedua orang tua nya.
Jihoon sering menjadi langganan juara kelas, hal ini tentu membuat orang tua nya menjadi sangat bangga, Jihoon membungkam mulut para perundung itu dengan prestasi nya, sampai di saat ia duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, Jihoon di tunjuk untuk mewakili sekolah nya mengikuti olimpiade matematika tingkat nasional.
Dan Jihoon adalah Jihoon, meski ia memenangkan lomba tingkat nasional yang akan mengirim nya ke tingkat internasional, dia tetap lah pemuja masakan sang mama, kecuali jika mereka sedang pergi bersama keluar, lain nya itu, Jihoon masih setia membawa bekal ke sekolah.
"Mama" panggil nya manja, dia baru selesai belajar, di kamar nya, merasa lapar, Jihoon pun keluar kamar.
"Ya sayang?" Sahut sang mama yang sedang menjemur baju mereka samping rumah.
"Jihoon lapar ma"
"Mama membuat bolu gulung strawberry tadi, Jihoon bisa ambil sendiri di meja makan kan sayang?"
"Ya ma" Jihoon mengambil sendiri dengan memotong hampir setengah nya untuk diri nya sendiri, Rio datang, ia menghampiri sang istri dengan senyum mengembang.
"Oppa" kaget Rose karena Rio tiba-tiba memeluk nya dari belakang.
"Aku ada hadiah untuk Jihoon" bisik Rio.
"Apa itu?" Rose jadi penasaran, ia lalu membalikan tubuh nya dan melihat tangan kanan Rio memegang laptop second, mata Rose berbinar.
"Agar Jihoon semakin semangat belajar" ucap Rio.
"Terima kasih oppa sudah menjadi papa dan suami terbaik untuk kami" Rose pun memeluk leher suami nya.
"Ayo kita berikan" ajak Rio, ia dan Rose memasuki rumah lewat pintu dapur, melihat ada sesuatu diatas meja, Rio pun membuka penutup nya
"Astaga, siapa yang memotong sebesar ini?" Heran nya
"Tentu saja anak mu" kekeh Rose, mereka mengendap hendak ke kamar Jihoon, tapi sang bocah justru malah sudah di depan jendela ruang tamu, mengintip keluar karena ia merasa mendengar suara mobil sang ayah tadi.
"Mencari papa ne?" Bisik Rio tepat ditelinga kanan sang bocah.
"Aaaa. . . Papaaa. . . !" Teriak Jihoon terkejut bukan main, Rose yang melihat reaksi lucu Jihoon pun terpingkal.
"Papa mengagetkan ku saja" omel Jihoon.
"Maaf boy, papa memang ada kejutan untuk mu"
"Kejutan apa pa?"
"Ini" Rio mengeluarkan laptop bekas yang ia beli tadi dari balik punggung nya
"Woah, laptop papa?" Seru Jihoon tak percaya.
"Iya, untuk Jihoon" Rio pun menyerahkan nya pada sang putra, yang terus mengusap dan memandang takjub benda itu, sebab hanya Jihoon yang belum punya laptop di kelas nya, tapi kini ia sudah memiliki nya.
"Jihoon bisa menggunakan itu untuk belajar" ujar Rio
"Terima kasih papa" Jihoon mengulurkan kedua tangan nya pada Rio, yang langsung menyambut nya dengan pelukan, bocah berumur sepuluh tahun itu sangat bahagia memiliki laptop sekarang.
Di tempat lain, usaha Jennie dan Taehyung untuk mengupayakan anak sebagai pengganti Jihoon belum juga membuahkan hasil.
"Mungkin ini karma karena kita membuang Jihoon waktu itu" lirih Jennie, ia mulai mengeluarkan air mata nya, sambil memegang testpack bergaris satu, entah ini sudah testpack yang keberapa.
"Tidak, ini tidak ada kaitan nya dengan Jihoon, dia hanya akan membawa sial untuk kita jika tetap berada di rumah ini" ucap Taehyung tajam.
"Berhenti mengatakan hal-hal buruk tentang nya, karena bagaimana pun, dia adalah darah daging mu sendiri!" Teriak Jennie tak terima sang suami menjelekan anak mereka, ia menangis sesenggukan di dalam kamar nya, Taehyung terdiam, tapi ia tak berusaha menghibur sang istri, semenjak Jihoon di buang, rumah tangga mereka justru tidak dalam kondisi baik-baik saja, pertengkeran kerap terjadi, suara teriakan mendominasi, berbanding terbalik dengan suasana rumah Rio yang penuh canda, tawa dan kebahagiaan meski mereka hidup serba pas-pasan.
#TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Child
Fanfictiontentang pasangan Chaerio yang di karuniai seorang anak laki-laki istimewa