1. Mereka tulus

112 4 5
                                    

Tiffany Pov

Jejeran pohon tertata rapih dipinggir jalan menuju sekolah. Hanya menatapnya dari balik jendela ini saja sudah membuatku merasa damai. Aku tidak sabar untuk bertemu sahabat sahabatku.

Mereka yang sudah jadi sahabatku sejak 6 tahun lalu. Mungkin orang orang selalu bilang kalau 'mereka hanya memanfaatkanku'. Tapi mereka hanya bisa berucap tanpa tau yang sebenarnya.

Teresa dan Tania memang sangat berbeda denganku. Aku, Tiffany Zallwehon anak bungsu dari keluarga terkenal di daerah ini. Tania memang tak berbeda jauh denganku. Dia juga berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Tapi, tidak dengan Teresa. Ia adalah orang biasa. Ayah dan ibunya adalah karyawan disalah satu perusahaan ayahku. Tapi jangan salah. Dia bisa masuk sekolah ini tanpa mengeluarkan selembar uang pun. Ia jenius. Beasiswa ia dapat dari mana mana.

Tapi, aku tidak perduli dengan status mereka. Karena aku tau, mereka itu tulus.

2 Tahun lalu. Sekolah Menengah Pertama Fradais.

"Tiff.." aku menengok kearah datangnya suara.

"Ada apa Ris?" Riska rupanya. Dia salah satu anggota ekskul MD. Satu ekskul denganku.

"Em, ka..kamu dipanggil pelatih diruang latihan. Katanya, mmh.. anu mau ngasih tau sesuatu." Suaranya terdengar ketakutan.

"Sekarang, Ris?"

"Ya, Tiff" Riska segera pergi.

"Tiff?"

"Kenapa, Ter?"

"Kamu mau pergi sendiri? Biar aku dan Tania temani ya" aku menggeleng.

"Nggak usah. Kalian disini aja. Nanti aku balik lagi kok"

Aku segera berlari kelantai tiga. Ruang latihan anggota MD. Kalau aku terlambat, pasti pelatih akan marah.

Disini gelap sekali.

"Pel..."

'Dum!' Aku mendengar pintu dibanting keras. Dan seketika lampu menyala.

"Hai, Tiff.. ketua inti kita sudah datang rupanya."

"Jes? Mana pelatih?" Aku masih berusaha tenang. Ia mendekat bersama teman temannya. Terakhir kali, aku dibully di kamar mandi saat SD olehnya. Dan sekarang aku tak tau apa yang akan terjadi.

"Pelatih? Owowow.. dia sudah pulang gadis kecil. Kau.. terperangkap"

"Apa yang kau inginkan?" Aku mundur. Tapi Jessica semakin maju.

"Tidak banyak. Hanya ingin melihatmu sengsara. Kau tau kan? Dari dulu aku selalu ingin mengalahkan mu." Ia tersenyum licik.

"Hey, kau tau kan? Ini tidak adil. Kalau kau memang gadis sejati, kita adu dance." Aku terjebak, punggungku sudah menabrak tembok.

"Hm, sayang nya aku bukan gadis seperti yang kau bayangankan." Ia meraih daguku. Aku tidak akan setakut ini kalau dia tidak menggoreskan pisaunya di pipiku.

"Ikat dia, girls!" Oh, dasar kutu loncat!

'Plakk' satu tamparannya mendarat sempurna dipipi kiriku.

'Dumm!' Aku mendengar suara ledakan. Dan asap putih masuk dari balik pintu ruangan latihan.

Gadis gadis yang menjaga pintu itu jatuh pingsan. Asap itu pasti beracun.

Teresa. Tania.

Mereka datang. Teresa mengenggam beberapa botol berisi cairan kimia. Dan Tania membawa pemukul kasti. Oh, ide bagus kawan.

"Wah, bantuan datang ya. Tapi aku masih punya empat orang lagi disini. Kalian kalah jumlah"

"Tidak masalah, Jes. Bahan kimia ini pasti akan membuat kalian menyesal."

"Dan aku pasti akan membuatmu masuk rumah sakit!" Pertama kalinya aku melihat Tania berani berteriak terhadap seseorang. Apalagi ini Jessica.

Jessica menyayat lenganku.

'Prang!' Teresa melempar satu botol itu. Dan mengenai empat gadis didepan Jessica. Mereka bukan pingsan. Tapi kulit mereka memerah dan kelihatannya gatal sekali. Mereka bahkan membuat baju mereka robek sendiri.

"Hm, aku masih punya beberapa botol lagi, Jes." Jessica menatap Teresa berang.

Jessica kembali menyayat lenganku. Kali ini ia membuat kemejaku robek.
"Hiaaatt"

'Dug!' Tania menghantam kepala Jessica hingga berlumuran darah.

"Hanya ini gendut?!" Jessica menggores pisaunya ke lengan Tania. Oh, aku tak akan memaafkannya.

Tapi secara tiba tiba Jessica malah melukai dirinya sendiri. Ia menggoreskan pisau itu di tangannya. Dan merobek bajunya. Ia juga melepas ikatanku.

"Kau menyerah? Ta.."

"Tiffany! Teresa! Tania! Jessica! Ada apa ini?" Ow, kesialan datang.

"Sudah sampai, non" Pak Heri membuyarkan lamunanku.

"Eh, iya pak.. makasih" aku turun dari mobil. Dari jauh aku bisa lihat Tania melambaikkan tanganya sambil tersenyum. Dan Teresa masih asyik dengan bukunya.

Kami memang sial saat itu. Jessica berbohong dan dengan mudahnya pak Rahman percaya. Aku, Teresa dan Tania dihukum. Mereka tidak mengeluh. Bahkan Tania sekalipun. Padahal biasanya ia bawel.

Hari itu, aku bisa melihat ketulusan mereka. Dibawah tiang bendera dan ditemani oleh sinar matahari, kami dihukum. Tapi, hari itu juga aku yakin. Mereka tulus. Tidak perduli apa yang harus mereka korbankan untukku.

Ya, mereka tulus.

*

Makasih. Maaf kalau jelek. Aku amatir :)

PythagorasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang