Tiffany Pov.
Aku berulang kali menghela nafas. Diluar hujan tengah menyerbu bumi. Aku masih disini, kafe Lateria. Aku lebih senang menghabiskan waktu disini saat Tere dan Tania sedang bertengkar. Aku memilih untuk tidak ikut campur, lagipula mereka juga tak suka aku ikut ikutan.
"Sendirian?" suara itu membuatku mengadah.
"Tidak, aku bersama dengan buku pelajaran." ia tersenyum miring.
"Buku itu terbuka, tapi kau tidak membacanya. Dimana dua sahabatmu itu?" Erika duduk dihadapanku. Sebenarnya aku agak risih dengan kehadirannya.
"Mereka sedang ada urusan." ia menatapku dengan tatapan yang aneh.
"Sampai meninggalkanmu sendirian? Seharusnya kau bisa ikut." ia membuka buku yang ia bawa.
"Aku rasa itu bukan urusanku, jadi aku tidak mencampurinya. Disini banyak meja kosong, kenapa kau mau duduk denganku?"
"Salahkah aku jika ingin menjadi temanmu?" aku berfikir.
"Tidak." ia tersenyum lagi.
"Kalau begitu biarkan aku duduk disini. Ini adalah langkah pertama untuk menjadi temanmu." ia mengalihkan pandangannya ke bukunya, tapi senyum anehnya masih terlukis disana.
Aku rasa tidak salah bila aku berteman dengannya. Lagipula dia kakak kelasku mana aku berani mengusirnya.
"Jelas sekali ada yang mengganggumu."
"Ya?"
Ia menatap tepat ke dalam mataku. "Ceritakan saja. Kalau disimpan jadi sampah nanti."
Aku menghela nafas. Haruskah ku ceritakan?
"Tere dan Tania sedang bertengkar. Kalau sudah begini aku tidak bisa ikut campur. Tapi aku tetap mwngkhawatirkan mereka. Aku tidak ingin persahabatan kami berakhir." entah kenapa mulutku berani sekali berbicara.
Ia menutup bukunya. Tidak ada yang pernah seserius itu mendengarkan aku. Hanya Erika. Bahkan Tere dan Tania lebih senang bersama buku dan ponsel daripada mendengarkanku. "Aku merasa mereka sepertinya lebih banyak waktu berdua dibanding bertiga denganmu."
Aku terkejut, dia benar benar faham apa yang kurasakan. "Aku juga berfikir seperti itu. Mereka sering mengabaikanku."
"kalau begitu kenapa kau begitu khawatir tentang masalah mereka? Mereka saja tidak peduli padamu, kenapa kau harus peduli pada mereka?" Hatiku goyah mendengar perkataan Erika.
"Tapi mereka kan sahabatku. Tentu aku mengkhawatirkan mereka." Erika menyenderkan tubuhnya ke kursi.
"Iya sih, tapi apa mereka pantas kau sebut sahabat? Mereka saja selalu menjauh darimu, mereka mengabaikanmu." Hatiku rasanya seperti bangkit dari kematian.
"Aku rasa mereka tak bermaksud begitu." Aku berusaha berfikir jernih.
"Tak bermaksud? benarkah? tadi kau sendiri yang bilang mereka mengabaikanmu. Coba kau fikirkan, mereka sering sekali pergi hanya berdua tanpa mengajakmu." Darimana Erika tahu?
"Kau benar." Apa yang dikatakan Erika memang benar, sekarang aku tahu kalau mereka tak pantas jadi sahabatku.
-Pythagoras-
Meski hujan telah berhenti, aromanya masih terasa. Membawa emosiku yang tak karuan ini. Mereka telah menipuku, mereka selama ini menyebutku sahabat padahal mereka tidak memperlakukanku seperti sahabat.
Aku benar benar merasa sendirian. Kakakku membenciku dan aku salah menilai orang menjadi sahabatku. Aku merasa bodoh. Aku merasa tak berharga.
"Non, ini teh hangatnya." aku mengucapkan terima kasih kepada bibi.
Sepertinya hanya teh ini yang benar benar berada disisiku. Aku meminum teh hangat itu. Sedikit rasa tenang yang kudapatkan dari hujan dan teh ini.
Aku bangkit, hendak kekamarku. "Kemana aja lo, Tiff?"
"Hanya menyendiri di kafe." jawabku.
"Benarkah sendiri? gue ga yakin." Tere menyender ke kusen pintu sambil melipat tangannya didada, sementara Tania berdiri dibelakang Tere. Mereka sudah baikkan?
"Mau gue sendiri atau berdua, itu bukan urusan kalian." aku menghindar dari mereka, tapi Tere menahan lenganku.
"Ada yang ga beres dengan lo." Tere berusaha mencari tahu lewat mataku. Aku menarik lenganku.
"Tidak, justru selama ini gue ga bener. Sekarang gue baru nyadar."
"Lo kenapa sih Tiff?" Tania manatap ku dengan sorot kesedihan. Ah, itu hanya drama mereka.
"Ga kenapa kenapa. Cuma baru nyadar aja ada yang ga beres dari dulu."
"Maksud lo apa?"
"Ga maksud apa apa" aku berjalan kearah tangga menuju lantai dua, kamarku.
"Kenapa sih kalian ribut ribut melulu? udah nyadar ya kalau kalian ga pantes jadi sahabat?" Kakakku berdiri diujung tangga. "Diam saja berarti iya Tiff"
"Bisakah lo ga ganggu gue Fanya? urusin hidup lo sendiri, Fan. urusin pacar lo." aku sengaja menabrak bahu kak Fanya.
"Dih, tau diri kek. Lo itu yang udah ganggu hidup gue. Seandainya lo ga lahir pasti semua warisan kakek dan ayah jadi milik gue!"
Aku tersenyum miring. "Gue memang lahir kedunia ini buat jadi saingan lo, jadi hati hati." aku pergi kekamarku segera.
Author pov.
Zefanya mendekati kedua sahabat adiknya itu. Atau lebih tepatnya calon mantan sahabat adiknya.
"Sudah gue katakan dari awal, kalian ga akan pernah bisa nyatu! Terutama lo Teresa Hardinka! Lo itu cuma anak orang miskin yang beruntung. Kalau keberuntungan lo habis, gue yakin lo ga akan bisa apa apa." Teresa tidak bergeming. Raut wajahnya datar.
"Hanya itu? Kata kata yang sama dari dulu. Mungkin dulu itu akan sedikit menggoyahkan hati gue. Tapi sekarang tidak." Teresa melipat tangannya didepan dada.
Zefanya tersenyum. "Bi Inahh! Panggil satpam dan usir mereka!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pythagoras
Fiksi RemajaTrio T. Tiffany, Teresa, Tania. Mereka bertiga sangat berbeda. Tapi itu bukan penghalang mereka untuk bersahabat. Sayangnya dalam hidup tidak ada yang mulus. Termasuk cerita persahabatan mereka. Saat mereka terpecah, cara apa yang akan mereka gunaka...