13. Awal perpecahan kedua.

35 3 2
                                    

Tania mengehentakkan kakinya ke tanah. Ia begitu kesal dengan apa yang terjadi. Ia baru saja menyerahkan gambarnya bersamaan dengan Rio. Tapi entah kesambet petir apa, Jordy lebih memilih gambaran Rio.

Tania tidak habis fikir, hanya gambar sekolah dari seberang jalan saja bisa membuat Jordy terkagum kagum sampai mangap mangap.

"Masih kesel?" Ah, suara dia. Tania memutar tubuhnya. Tepat dibelakangnya berdiri Rio.

"Menurut lo gue ga kesel? ini ga adil! Lo cuma gambar biasa! gue juga bisa klo gitu doang." Rio menunjukkan senyumnya. Senyuman yang membuat hati Tania semakin panas.

"Apa lo pake senyum senyum segala?!" Rio malah tertawa. Entah Rio buta atau otaknya konslet, tapi ia malah berfikir kemarahan Tania itu lucu.

"Lo lucu." Dua kata. Dua kata yang membuat Tania berfikir Rio kembaran Jordy.

'Kamu lucu.'
'Lo lucu.' (part 5)

Kenapa mereka bilang gue lucu ya? gue kan bukan badut. Huh.

"Lo kira gue badut ancol?!" dan balasan yang serupa pula.

'... Saya bukan badut ancol lho kak.'
'Lo kira gue badut ancol?!'

Tania benar benar merasa Rio dan Jordy ini kembar. Kenapa mereka membuatnya merasa Dejavu?

"Iya, menurut gue lo adalah badut terlucu. Muka lo merah sampe ke telinga. Gue fikir lo akan kaya gini saat malu. Ternyata salah." Hanya ini yang berbeda. Tania menggeleng. Rio sama Kak Jordy mana mungkin kembar. Mereka beda dua tahun, sifat berbeda jauh dll. Pasti yang tadi ga sengaja.

Tawa Rio terdengar lagi. Tania langsung mendongak. Ni cowo stress ya? ketawa mulu kaya orang gila.

"Kenapa lo ketawa lagi? Perlu gue bawa ke RSJ??"

"Lo makin lucu saat bengong dan geleng geleng seperti tadi. Bener bener badut ancol." Mata Tania melotot. "Dan.. gue bukan kembaran Jordy seperti apa yang lo fikirkan."

Dia bisa baca fikiran?

"Jangan belaga kaget gitu. Tapi lo ngomong sendiri dan masih kedengeran sama gue." Rio pergi sambil membawa sisa tawanya.

Tania menepuk jidatnya. Perasaan tadi ngomong dalam hati.

-Pythagoras-

Tere melangkah mantap menuju perpustakaan. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan jika sendirian begini.

Bruk.

"Ouch.."
"Eh, so- Tiff??" Tiff bangkit. Seragamnya kotor dan basah karena tumpahan air yang ia bawa.

"Menabrak mantan teman rupanya." Tiff membersihkan seragamnya.

"Y.. ya, mantan teman. Dan, oh, Mantan temanmu ini minta maaf."

Tiffany berdecih. "Maaf? ga berarti buat gue." Tiffany meninggalkan Tere, sementara Erika memandangnya rendah dan kemudian mengikuti langkah Tiffany.

Tere mengepalkan tangannya. Tinggal gue sama Tania. Gue harus bertahan.

Sementara itu, Reisfas tersenyum penuh arti melihat kejadian barusan dari lantai dua. "Yang satu udah digenggaman gue, yang satu dalam proses. Sekarang tinggal nentuin nasib lo Teresa."

"Nentuin apa Rei?" Suara itu membuat Rei tersentak.

"Eh, enggak. Enggak nentuin apa apa kok, Dy." Ardy tersenyum lebar dan mengabaikan hal yang ia dengar.

"Besok temenin aku ya, Rei."

"E.. eh, kemana?"

Ardy menyelipkan rambut Reisfas. "Ke makam mamaku." Rei gelagapan. Ia mundur sedikit. Gue ga mau dan ga bisa datang ke makam. Males banget.

"Aduh, kayanya ga bisa deh, Dy. Besok aku ada acara keluarga." Ardy langsung lemas, tapi ia tersenyum kembali.

"Yaudah, lain kali lagi, deh." Lagi, ya sudah berkali kali Ardy mengajak Rei. Tapi Rei selalu menolak.

"Gapapa kan, Dy?" Rei memasang topengnya itu.

Ardy tersenyum. "Sebenernya kecewa, tapi gapapa kok."

"Makasih ya, Dy. Pengertian deh."

-Pythagoras-

"Ter, gue denger nanti bakal diadain lomba gitu." Tere mengalihkan pandanganya.

"Lomba apa? Fisika? Math? oh, Puisi?" Tania memutar bola matanya.

"Lo apa apa pelajaran. Dikira lomba ga ada yang lain apa?" Tere nyengir.

"Terus lomba apa?"

"Sejenis pencarian bakat. Em, musik, gambar dan lain lain." Tere mengangguk-angguk.

"Lo mau ikut?" Kini gantian Tania yang mengangguk.

"Gue mau tunjukkin bakat gue dalam menggambar. Tapi bukan jenis gambar biasa."

"Maksud?"

"Gue mau nunjukkin sesuatu yang beda." Tere menoyor kepala Tania.

"Kasih tau gue."

"Ra-ha-sia." Tania langsung kabur.

Lomba? em, boleh juga. Fikir Tere.

"Tania!" Panggilan itu tidak hanya membuat Tania menengok, Tapi juga Tere.

Gadis dengan wajah cantik itu menghampiri Tania. Dia siapa?

"Hai, Tan. Sendirian? gue bareng lo ya?" Sarah menatap Tania berbinar binar. Cewe caper ini ngapain coba.

Dan tepat sebelum Tania menjawab. Seseorang memanggil Teresa. Membuat Perhatian Tania teralihkan.

"Teresa!" Teresa terlihat sibuk mengobrol dengan kakak kelas yang bernama Firma. Itu membuat Tania sedikit kesal.

"Kenapa Tan?"

"Ah, gapapa. Yuk, Sar. Kita makan bareng."

Dan tanpa mereka sadari, skenario Reisfas berjalan. Tidak ada yang menyadarinya.

*
Sorry ya pendek. Hehehe. Lagi males ngetik.

PythagorasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang