Teresa Pov.
Dari tadi aku tidak bisa tidur. Meski mencoba berkali kali, tetap saja tidak bisa. Aku menghembuskan nafasku kasar. Dua bulan lagi perlombaan yang pernah dikatakan Tania akan berlangsung. Sejak ada seorang gadis bernama Sarah semua jadi sulit. Tania seperti menjauhiku, entah kenapa. Dan akhirnya aku tahu kenapa. Ini semua gara gara Reisfas.
Aku melihat kearah jam. Ini baru jam 3 pagi. Aku memilih bangkit dari ranjang dan keluar dari kamar. Suasana sunyi dan gelap. Aku menyalakan saklar lampu dan berjalan menuju dapur. Mungkin segelas air akan membantuku.
"Tere? Kamu belum tidur?" Suara Mama membuatku menengok kebelakang.
"Tere ga bisa tidur." Mama menghela nafas. Dia menarik kursi meja makan dan duduk disana.
"Tere kenapa? Ada masalah ya? Belakangan ini kok kelihatan ga semangat?" aku duduk disebelah Mama.
"Tere akan berdosa kalau bilang Tere ga punya masalah. Karena itu namanya berbohong." Mama tersenyum. Ia mengelus rambutku yang tergerai.
"Tere.. Kamu tau kan hidup itu jalannya ga selalu mulus, Ter. Banyak rintangannya. Ada masalah itu biasa, tapi tergantung bagaimana kamu mengatasinya. Dan Mama mau kamu jadi anak yang kuat, yang bisa menghadapi masalah apapun yang ada." Tatapan mata Mama membuat sepercik rasa tenang dalam hatiku.
"Tapi gimana kalau ini bukan masalah Tere sendiri? Dan gimana kalau Tere takut setelah masalah ini selesai keadaannya malah ga enak?" Kening Mama berkerut.
"Ini ada hubungannya sama Tiffany dan Tania ya? Kalian bertengkar?" Aku menunduk, kemudian mengangguk.
Mama menarik daguku. "Jangan menunduk, kalian harusnya bicarakan segalanya. Pasti salah faham. Kalian sudah bersahabat sejak SD, masa kalian ingin kehilangan hubungan ini?"
"Tere udah sering coba Ma. Tapi ga berhasil. Mereka sekarang asik sama yang lain. Tiffany tiba tiba berubah sejak sama Rei. Tania juga ngejauhin aku sejak bareng Sarah." Aku menaruh kepalaku diatas lipatan tanganku dimeja. Mama kembaki mengelus rambutku.
"Pasti ada yang salah sama kamu, Tere. Coba kamu fikir fikir. Kenapa mereka jauhin kamu." Aku berusaha berfikir keras. Sebelum Tiff menjauhi aku dan Tania, aku dan Tania bertengkar. Lalu tiba tiba Tiff berubah sejak kami melihatnya secara tidak sengaja di cafe bersama Erika. Sebenarnya waktu kami pergi kerumah Tiff, kami ingin menanyakan hal itu. Tapi dia malah ketus.
"Mama kembali kekamar ya." aku mengangguk.
Oke, kembali kefikiran yang tadi. Sejak saat itu, Tiff ngajauhin aku sama Tania. Dia deket terus sama Erika. Pasti ini hasutan Erika, ah dasar kaki seribu. Tania? waktu dikantin dia malah ngobrol sama Sarah. Terus dia tiba tiba kaya marah gara gara liat aku ngobrol juga sama Firma. Jelas ini salah faham yang disengaja. Intinya, ini semua ulah Michelle Reisfas.
-Pythagoras-
"Tania.." Aku memanggil Tania, ia menengok.
"Kita harus bicara Tan."
"Ga ada yang perlu dibicarain kali Ter." Tania melangkah pergi tapi aku mencegat lengannya.
"Please Tan. Gue ga mau gini terus. Seharusnya kalau kita ada masalah kita bicarain Tan"
Tania menepis tanganku. "Satu menit." Aku mengehela nafas.
"Semuanya salah faham. Reisfas yang bikin kita kaya gini Tan."
"Lo mau nyalahin orang lain Ter? Rei itu ga ada urusannya soal ini Ter! ini masalah antara lo, gue dan Tiff! Lo jauhin kita!" Aku merasakan sakit dirongga dada. Seperti ada sesuatu yang menghancurkanku dari dalam.
"Gue ga ngejauhin kalian.. Kalian-"
"Alah, basi alasan lo Ter. Harusnya lo ngaca dulu kalau mau ngomongin orang. Reisfas emang bukan orang baik, tapi jangan selalu nyalahin orang Ter." Tania pergi. Entah kenapa, tapi setiap kali aku ribut dengan Tania, kata kata yang keluar dari mulutnya itu bagaikan pisau yang tajam yang selalu menusukku.
"Adakah jalan keluar dari masalah ini? Masalah ini seperti labirin raksasa yang hampir tidak memiliki jalan keluar." Aku menghela nafas sambil memijat batang hidungku.
"Hampir tidak ada bukan berarti ga ada Ter." Ah, suaranya.
"Gue tau itu Ardy."
"Kalau lo tau kenapa lo nyerah? kenapa lo mengeluh? Lo harus tetap bertahan sampai nemuin jalan keluarnya."
"Saran lo bagus. Tapi gue ga butuh jebakkan baru lagi dari Rei." Aku berbalik hendak menuju kelas.
"Maksud lo?"
"Jangan pura pura bego gitu Dy. Gue tau lo pacaran sama Tiffany karena Reis kan? Lo masih jadi budak cintanya Dy. Dan kalau lo dateng kesini mau bantuin gue dan sebagainya, gue berhak curiga sama lo." Ardy terkekeh.
"Apa yang lo katakan bener Ter. Gue ngaku selama ini gue emang jadi budak cinta dari Rei. Tapi gue ga mau terus terus gitu, gue mau bebas." Tubuhku kembali menghadap Ardy.
"Buktiin dulu Dy. Teresa butuh bukti, bukan hanya ucapan. Dan kalau lo mau bantuin gue-"
"Gue mau bantuin lo Ter. Gue udah tau caranya. Hanya kenangan yang akan ngebantu lo Tere." Tepat setelah Ardy mengucapkan kata terakhir, bel masuk berbunyi. Dan aku bergegas ke kelas.
"Hanya kenangan yang akan ngebantu lo Tere."
Hanya kenangan.
Aku merasa tak asing dengan kata itu. "Meski ada yang memisahkan kita, kenangan kita tidak akan pernah menghilang. Meski kita telah mati, kenangan kita tidak akan pernah mati. Karena cerita hidup ini, kenangan ini, telah tertulis rapih dalam buku kehidupan."
Ya, aku mengingatnya. Janji Trio T waktu menginap dirumahku saat kelas 5. Kami mengucapkannya berulang kali di sepanjang malam.
Kenangan tidak akan pernah menghilang..
Kenangan tidak akan pernah mati..
Kenangan telah tertulis dalam buku kehidupan..Lalu bagaimana caranya aku meminta tolong pada kenangan? Akankah kenangan membantuku?
*
Hai :) sorry banget ya aku lama ga ngepost. Hehehe, biasa.. liburan malah sibuk. Pythagoras bakal beres secepetnya karena bakal ada yang baru. Apa itu? tunggu aja, aku ga berani ngasih tau dulu.. takut ga jadi.Thanks.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pythagoras
Teen FictionTrio T. Tiffany, Teresa, Tania. Mereka bertiga sangat berbeda. Tapi itu bukan penghalang mereka untuk bersahabat. Sayangnya dalam hidup tidak ada yang mulus. Termasuk cerita persahabatan mereka. Saat mereka terpecah, cara apa yang akan mereka gunaka...