6. Dipermalukan.

72 2 5
                                    

Teresa pov.

Bangunan berumur ini sepi sekali. Yaiyalah, ini baru jam 6. Aku menyusuri lorong, tiga hari disini sudah cukup untuk mengingat wilayah sekolah. Cuaca yang dingin tidak aku pedulikan. Orang yang datang kesekolah masih bisa kuhitung dengan jari.

Aku berhenti di depan ruang guru. Papan pengumuman. Oke, mari kita periksa dimana kelas Trio T.

Hm, aku sekelas dengan Tiff tapi tidak dengan Tania. Sayang sekali. Kasian Tania, dia malah sekelas dengan Rio. Bencana datang.

Kelasku cukup jauh. Lantai dua dipojokkan. Tempat yang sangat menyebalkan. Jauh dari kamar mandi, perpus, laboratrium dan kantin. Payah.

Pintunya tidak dikunci. Apa OB disini sangat ceroboh? Aku mencari cari saklar. Ruang kelas ku dipojok jadi tidak ada jalur cahaya untuk masuk.

"Mana sih?" Tiba tiba lampu menyala dengan sendirinya.

"Saklarnya disini." Orang itu hampir membuatku jantungan. Ternyata saklar sialan itu dibalik pintu.

"Oh, makasih." Sepertinya wajahnya tak asing. Dia kakak kelas kan? "Kelasnya disini?"

"Dulu. Sebelum ada kalian para adik kelas." Tebakkan yang tepat Tere.

"Oh." Ia mengambil beberapa agenda kelas dan isi mading.

"Yang sabar dengan kelas ini ya. Ini kelas yang sangat berbeda. Sering mati lampu sendiri, padahal satu sekolah ga mati lampu. Dulu kelas ini buat anak 11 IPA 1, sekarang jadi wilayah anak kelas 10 IPA 4. Semoga betah." Terlalu banyak bicara. Laki laki itu keluar dari kelas ini.

Aku mengambil tempat duduk terdepan. Biasanya dibelakang ribut. Aku tidak suka.

Ponselku bergetar.

Tiff.

'Gue dikelas mana? Kita bertiga sekelas ga?'

"Kita berdua sekelas, Tania enggak."

' yah.. ada kabar yang lebih buruk?'

"Kita dapat kelas paling buruk. Dan Tania sekelas dengan Rio."

'Tidakkk. Rio? Gawat nih.'

"Satu sekolah aja udah gawat. Gimana satu kelas?"

'Ngekk.. Dum!' Pintu tertutup sendiri. Oke, aku ga mikir aneh aneh kok. Paling angin.

Dan setelah pintu tertutup, lampunya mati sendiri. Aaaa! Kenapa aku bisa dikelas ini?!

Aku memakai sinar layar ponselku. Pintu mana pintu? Nah, ini dia. Gilakk, pintunya macet! Nyangkut ini mah. Mampus.

Aku memukul pintu kuat kuat. Bodoh, ini terlalu pagi. Satpam aja belom ada! Ayo berfikir Tere! Fikir! Gunain otak yang pintar itu!

"Obeng! Ada obeng di tas!" Untung aku bawa obeng. Tapi kapan obeng ini masuk tas ya? Masa bodoh.

Aku berusaha menghancurkan hendel pintu.

'Krekk..' Yes!

Hendel pintu itu kubuang kebelakang. Bolongan yang kecil ini memudahkanku untuk membuka pintu. Sekuat tenaga aku kerahkan. Dan akhirnya pintu bisa kebuka.

"Lo pinter Ter! Pinter!"

"Pinter? Ga yakin." Suara berat itu membuatku membalikkan badan.

Ardy.

"Lo ngancurin pintu, dan itu yang lo sebut pinter?"

"Setidaknya gue selamet, lagian pintunya macet."

"Katanya lo dapet beasiswa? Kalau dari dalem, pintu ini bukan ditarik tapi didorong." Aku menepuk jidat. Bodoh.

"Karena keteledoran lo. Lo harus ganti rugi kerusakan sekolah." Ia pergi dengan angkuhnya. Huh, dasar kakak kelas. Duh, kenapa bisa seceroboh itu sih? Hendel pintu mahal ga ya?

▶Pythagoras◀

Aku hanya memandangi makananku tak berselera. Tania juga hanya mengaduk aduk makanannya. Tiff? Makanannya sudah habis sedari tadi.

"Kalian kenapa sih? Jelek banget moodnya hari ini?" Tiff menyedot minumannya.

"Iyalah! Lo bayangin aja, masa gue sekelas sama anak itu!" Tania membanting sendoknya. Untung bukan piringnya.

"Sabar Tan. Sabar. Nah, lo kenapa coba Ter? Biasanya lo paling tenang."

"Lo liat pintu kelas kita rusak? Itu karna gue" Malu? Banget.

"Kok bisa?!" Ujar Tiff dan Tan bersamaan.

Aku menceritakan segalanya. Mereka hanya manggut manggut.

"Makanya, jangan panik Ter." Tania menasihatiku.

"Lo sendiri aja panik waktu tau Rio juga disini." Ups aku keceplosan. Duh, ga bisa jaga lidah.

"Maksud lo apa ya Ter?" Aku diam. Kalau sudah begini, aku hanya akan diam.

Tania bangkit. "Gue rasa lo ga perlu nyinggung masalah gue. Kalau lo emang ga suka nasihat gue, yaudah tinggal bilang." Iya, aku tau ini salahku.

▶Pythagoras◀

Sejak kejadian tadi, aku lebih memilih menyibukkan diri di laboratrium. Berusaha menghindar. Sekolah sudah beres sedari tadi. Dua jam aku di lab.

"Mencoba sesuatu anak pinter?" Ah, suara itu lagi. Aku tak menjawab. Hanya fokus dengan cairan kimia didepanku.

"Serius banget, sampe lupa izin ke ketua ekskul Kimia."

"Udah." Singkat, padat, jelas dan BOHONG. Aku mana tau ketua ekskul Kimia yang mana?

"Oh, udah? Kok gue ga inget lo minta izin hari ini?" What? Jadi cowo ini ketuanya? Mati aja ini mah.

Aku berusaha mengendalikan diri. Tanpa menatapnya aku memberanikan diri. "Bukannya lo Ketua Osis?"

"Gue? Gue Ardy Hermawan. Selaku Ketua Osis sekaligus Ketua ekskul Kimia. Gue megang dua karena ga ada yang sanggup." Pertama kalinya aku dipermalukan seperti tadi pagi. Dan sekarang lagi?! Seumur umur aku baru nemu manusia kaya diaa!

"Ga usah kaget gitu. Gue akan lupain kejadian tadi pagi kok, asal lo tanggung jawab. Dan.. tolong lain kali izin dulu kalau mau pake lab. Sekarang lebih baik lo bersihin semuanya."

"Sekarang? Gue masih mau disini. Gue mau bikin cairan-"

"Gue ga peduli. Gue mau pulang secepatnya. Gue ga mungkin ninggalin kunci ini ke elo, jadi mulailah beresin semuanya." Aku menatapnya sinis. Pertama kalinya ada yang bisa ngalahin Teresa Hardinka.

Aku ga akan lupain ini. Aku pasti bisa ngalahin kakak kelas itu!

PythagorasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang