8. Keluarga.

56 2 0
                                    

Author pov.

makan malam yang indah dengan keluarga, mungkin itu yang orang fikirkan jika melihat empat orang yang sedang menyantap makanan di meja besar itu. tapi mereka tidak tahu apa yang sebenarnya dirasakan oleh Tiffany, makan malam ini seperti peperangan diam diam dengan kakaknya sendiri.

"Ayah pulangnya cepat sekali." Zefanya memulai percakapan dengan Tuan Zall.

"Rekan bisnis ayah sakit, jadi pertemuannya batal. Kenapa? kamu tidak suka ayah pulang lebih cepat."

"Tidak, maksudku tidak begitu ayah. Aku hanya penasaran."

Tuan Zall tersenyum. "Apa kamu tertarik dengan bisnis ayah? Ayah pasti akan mewariskan ini untuk mu..." Zefanya tersenyum penuh arti kearah Tiffany. "Dan juga adikmu ,Fanya." kini, gantian Tiffany yang tersenyum.

Tiffany tidak pernah menginginkan peperangan saudara ini terjadi hanya karena perebutan warisan. Ia tidak pernah menginginkannya sama sekali. Tapi mau bagaimana lagi, jika ingin tetap bertahan hidup ia harus melawan kakaknya sendiri. Belum ada cara yang berhasil ia temukan untuk menghindari perebutan kekuasaan ini.

"Bagaimana dengan sekolahmu Tiff? Mengapa kau diam saja?"

"Baik ayah, aku hanya sedang memikirkan tentang pelajaran."

"Bukankah Tiff baru sehari selesai MOS? itu berarti belum belajarkan?" Zefanya berhasil menyudutkan adik kandungnya itu. Ayah mereka juga tampak setuju dan meminta penjelasan kepada Tiffany dari sorot matanya. Tapi, Tiffany ya Tiffany ia tetap santai.

"Tadi emang ga ada pelajaran, yah. Tapi karena Tiff anak rajin, jadi Tiff belajar diperpus tentang pelajaran kelas 10." Tiffany tersenyum manis kearah Zefanya.

"Baguslah, Tiff. Ayah senang mendengarnya. Fanya, seharusnya kamu memberi contoh kepada adikmu, bukannya adikmu yang memberi contoh kepada kamu. "

"Iya, yah." Fanya memutar bola matanya.

Makan malam itu berakhir, Tuan Zall langsung memasuki ruangan kerjanya. Zefanya dan Tiffany? beradu argumen dilantai dua.

"Jangan senang dulu, gue ini anak sulung tentu gue akan mendapat bagian paling besar."

"Tidak penting anak sulung atau bungsu, yang penting itu siapa anak kesayangan ayah."

"Dan anak kesayangan Ayah adalah gue."

"Benarkah?"

"Zefanya! Tiffany! bisakah kalian berhenti?! ibu sudah muak dengan pertengkaran kalian."

"Itu kesalahan ibu sendiri."

"Apa maksud mu Fanya?"

"Kalau ibu tidak melahirkan dia, aku tidak perlu bersusah payah seperti ini."

"Fanya.. kenapa kamu hanya memikirkan warisan saja, nak?"

"Ibu jangan pura pura ga ngerti. Aku tahu kok, seperti apa sebenarnya ibu." Fanya menyeret paksa kakinya kearah pintu kamar.

"Tiffany, kenapa kamu sekarang ikut pertarungan ini nak?" Nyonya Zall memandang sendu anaknya itu.

"Sebenarnya aku ga ingin ini terjaadi bu, tapi mau bagaimana lagi? kalau warisan ini jatuh ke tangan kak Fanya bisa bahaya."

"Ibu berharap agar kakak cepat sadar, Tiff."

"Aku juga bu." Tiffany memeluk ibunya itu.

-Pythagoras-

Teresa Pov.

Aku dan Tania hanya memandangi pagar rumah Tiffany. Kakaknya mengusirku dan Tan tadi. Sebenarnya aku menyimpan rasa iri kepada Tiff dan Tan, walau itu hanya sebesar batu kerikil. Mereka dapat hidup mewah seperti ini. Tapi aku juga tahu apa yang dirasakan oleh Tiff. Ia dan kakaknya saja bermusuhan hanya gara gara harta warisan.

PythagorasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang